Kepang Dua

Hary Silvia
Chapter #32

31. SOAL TELAH TERPECAHKAN

Pekan ujian semester ganjil betul-betul setenang sungai. Ibu kepala sekolah tidak main-main soal peringatannya. Melalui pengeras suara ia mengumumkan tidak akan berbaik hati pada siapapun yang membuat masalah semenjak ujian dimulai. Ada hukuman yang menanti di minggu-minggu berikutnya. Para siswa diminta fokus dan mengistirahatkan diri dari hal-hal yang dapat mengganggu konsenterasi.

Alin selalu datang dengan headset mungil di telinga. Ia mendengarkan alunan instrumen klasik. Biasanya, saat tiba di sekolah telinganya cukup dengan siaran radio 141 yang menggema melalui pengeras suara. Headset langsung ia masukkan ke tas. Bunyi peraturan bahwa siaran radio 141 diliburkan selama pekan ujian telah dipatenkan. Dengan demikian, untuk sementara waktu, Alin harus mengubah kebiasaan sebagai pendengar setia radio 141.

Jam pertama adalah matematika, kedua sosiologi, dan ketiga adalah sejarah. Di kelas ia kembali mengulang soal-soal yang ia kerjakan semalam. Rey yang biasanya lebih berisik dari bel sekolah, kini berubah senyap. Sebelum ujian tiba, tak jarang Alin mendengar Rey mengeluh cemas dengan nilai-nilainya. Katanya, berada di bawah KKM akan membuatnya kerepotan sebab dituntut belajar lagi untuk mengikuti remidi. Besar harapan Rey agar tidak mendapat kemalangan itu.

Ani memasuki ruang beriringan dengan bel masuk. Di lengannya, kertas-kertas soal siap dibagikan. Serentak siswa di bangku terdepan menyalurkan soal-soal ke belakang begitu Ani menyerahkan.

Pengerjaan soal dibatasi sampai 90 menit. Sesekali Ani berkeliling, memeriksa anak-anak muridnya apakah mereka melakukannya dengan baik. Tidak menggunakan cara curang seperti mencontek. Konsekuensi kecurangan, mereka akan langsung dikeluarkan dari ruang ujian dan otomatis mendapatkan nilai nol. Semua ruangan ujian memiliki suasana mirip-mirip. Desahan napas kala menemukan soal sulit dan kertas yang bergemerisik ketika dibalik. Kecuali suara batuk yang teredam masker, hanya terdengar di tiga ruang. Ruangan Alin tidak termasuk. Kesehatan mereka semua terjaga. Hingga hari terakhir ujian, daftar kehadiran mereka lengkap tanpa absen.

***

 Sebagaimana anak-anak murid lain, Jia mematuhi aturan saat ujian semester. Ia menunda rencana sampai kertas ujian di seluruh mapel yang ia ikuti lengkap terisi. Ia mengirim pesan suara pada dua orang, meminta agar menemuinya di bubungan atap. Di detik ke lima belas, Jia mengatakan untuk yang terakhir kalinya. Tentu saja itu menggugah rasa penasaran si penerima pesan. Mereka adalah Alin dan Adam. Alin tidak tahu jikalau Adam juga dikirimi pesan, begitu pula Adam. Mereka saling menunjuk dengan raut muka bingung kala bertemu di tempat yang sama. Jia kemudian datang dengan seragam yang sudah tidak rapi. Bajunya yang dikeluarkan menampilkan kusut di sekitar kancing paling bawah. Rambut Jia terurai berantakan dengan potongan yang tidak rapi.

“Hai!”

Sapa Jia. Ia melangkah, melewati Alin dan Adam kemudian duduk santai, menempati tepian atap. Perasaan Alin dan Adam tidak enak. Jia terlihat seperti remaja mabuk.

“Kenapa nyuruh kami ke sini? Ada perlu apa?”

Ketus Adam. Melihat wajah Jia, sedikitpun tidak menyenangkan hatinya. Wajah itu memancing memori video penyiksaan Lani. Selepas bertanya ia memandang langit guna mengistirahatkan diri dari kemarahan dan pikiran balas dendam. Eren sangat menentang bila Adam melakukan hal buruk itu meski Eren juga meradang. Eren mengatakan bahwa balas dendam membuat Adam tidak ada bedanya dengan si pembuli. Daniel Abbas telah mengaku pada kepolisan. Ia mendapat hukuman kurung 21 bulan ditambah lagi penghentian dari jabatan kepala sekolah sudah cukup melegakan bagi Eren.

“Anakku bisa tidur nyenyak sekarang.”

Ungkap Eren dengan mata berkaca-kaca. Tangannya mengelus nisan Lani. Ia berkunjung ke makam Lani ditemani Adam. 

Jia menangis tersengguk-sengguk. Ia baru menyadari bahwa melincirkan maaf dari lidahnya sungguh menyulitkan. Ia pikir kata maaf sama sekali tidak layak menebus kesalahannya pada Lani. Juga pada orang-orang yang merasa kehilangan sebab kepergian Lani. Jia meremat kepalanya, tidak tahan akan ingatan buruk soal perbuatan yang sangat melewati batas terhadap Lani. Sejenak Adam dan Alin saling berpandangan tanpa mengatakan apa-apa. Mereka menanti gerak-gerik Jia selanjutnya.

“Aku hanya akan bertanya sekali. Apakah kematianku akan membuat keadaan menjadi lebih baik? Itu akan sepadan dengan yang kulakukan pada Lani.”

Pemikiran itu datang usai mengalami dua peristiwa mengerikan dalam hidupnya. Papanya di penjara dan bercerai dengan mamanya. Nasibnya kurang lebih serupa dengan Lani, broken home. Ia beranggapan bahwa itu semua adalah ulah monster bernama karma. Ia ingin melarikan diri dari makhluk itu sebab kerapuhan jiwanya tidak sanggup menahan pukulan kesedihan.

Hal yang paling Alin sesali selama mengenal Lani adalah tidak pernah sungguh-sungguh menanyakan bagaimana perasaan Lani. Kegelapan dalam diri Lani, sedikit pun ia tidak mengerti. Lani yang memiliki keinginan bunuh diri, Alin tidak bisa mendeteksi. Tahu-tahu Lani ditemukan meninggal. Dipulangkan ke kediamannya dalam keadaan tanpa nyawa. Selepas itu Alin banyak melamun dan kehilangan hasrat untuk melakukan apapun termasuk sekolah. Ia takut pergi ke sekolah. Semua kenangan bersama Lani menumpuk di sana. Bahkan mendengar kata sekolah membuat dadanya sakit. Ia disesaki perasaan bersalah.

Meskipun Alin tidak memiliki keterikatan persahabatan pada Jia dan cenderung belum bisa memaafkan perbuatannya, tetap saja mustahil membiarkan Jia bunuh diri di depan matanya.            

“Jia, tolong turun dari sana sekarang! Kita bicarakan semuanya pelan-pelan ya?”

Mohon Alin. Ia melirik Adam, mengkode agar bertindak juga. Adam pun paham. Mereka berdua melangkah perlahan menuju Jia. Jia langsung berdiri lantaran dua orang itu malah mendekat dan tidak berniat menjawab pertanyaannya. Kaki Jia sedikit goyah namun masih dapat menyeimbangkan tubuhnya.

“Jia!”

Teriak Adam dan Alin bersamaan. Mereka dibuat ketar-ketir sebab tingkah spontan Jia.

Lihat selengkapnya