Kepang Dua

Hary Silvia
Chapter #33

00. PASIR PUTIH MALIKAN (PAPUMA)

Berkemah di minggu kedua liburan semester adalah pemilihan waktu yang bagus. Alin, Rey, Angga, Adam, Lian, dan Boy telah menyepakatinya di grup chat.  Boy mengajukan diri sebagai penyedia mobil untuk mereka kendarai. Lian sebagai penyedia tenda dome berkapasitas empat orang untuk tidur kelompok laki-laki. Lian menyanggupi karena memang memilikinya di rumah. Alin dan Rey akan menyewa tenda sesampai di Papuma nanti. Selain itu mereka bertugas menyiapkan perlengkapan umum lain seperti senter, korek api, gitar, sun block, gelas, kamera dlsr, tripod, sepaket plastik besar, dan alas untuk berkumpul di luar tenda. Adam dan Boy mendapat tugas berbelanja makanan ringan, air mineral, dan makan malam untuk nanti. Untuk sarapan esok, mereka lebih memilih membeli di pantai. Angga sebagai penyedia kayu untuk api unggun. Ia membelinya secara online. Mereka berangkat Senin jam 3 sore karena ingin mengawali kegiatan dengan mengagumi keindahan matahari terbenam.

Tenda sewarna jeruk dan biru laut telah kokoh berdiri. Lubang pasir berisi kayu kering telah siap. Mereka akan membakarnya senja nanti. Alas yang digelar Lian dan Adam mengundang empat lainnya untuk segera mendekat lantaran tontonan salah satu fenomena alam akan segera dimulai. Kamera dlsr berada di pangkuan Alin. Ia siap mengabadikannya.

“Bagus banget gila!”

Puji Alin. Ia menembak pemandangan itu dengan lensa kamera. Teman-temannya melakukan hal yang sama dengan ponsel masing-masing.

Guys lihat kesini!”

Seru Alin. Teman-temannya pun berpose ke arah Alin bersamaan. Alin juga mengambil swafoto dengan mereka. Selepas mengambil gambar mereka melanjutkan tontonan sunset dengan mata telanjang sembari mengagumi ciptaan Tuhan. Perahu-perahu, bukit, pepohonan tepi pantai mulai tampak seperti siluet. Warna permukaannya menjadi seragam. Sebelum hari makin gelap mereka segera membuat api unggun. Keterampilan itu mereka serahkan pada Lian. 

Udara malam lebih dingin dari siang. Masing-masing pemuda mengenakan pakaian hangat. Mereka duduk di dekat tabunan, memandang api yang bergoyang-goyang. Angga memainkan gitar tanpa menyanyi karena malu dengan suaranya. Lantas menyuruh Rey melakukannya.

“Alin aja!”

Tolak Rey. Akhirnya Alin mau. Ia hafal hanya beberapa baris lirik sisanya nananana. Nyanyian dilanjutkan Boy dan Adam. Lian yang baru saja kembali dari kamar mandi turut menyumbangkan suaranya bersama Adam dan Boy karena lagunya begitu familiar. Sementara Alin dan Rey membantu meramaikan instrumen dengan bertepuk tangan sesuai ketukan. Suasana menjadi lebih hidup apalagi dilatarbelakangi suara ombak. Keenam pemuda itu sangat menikmati apa yang mereka lakukan sekarang.

“Main yang lain yuk!”

Angga sudah bisa menebak Alin akan menyerukan apa.

Truth or dare!”

“Sudah kuduga.”

Imbuh Angga. Alin menggunakan senter untuk menunjuk pemain. Ia pun memulainya. Ternyata senter tidak dapat melakukan putaran dengan sempurna karena permukaannya tidak selicin botol kaca.

“Langsung tunjuk aja Lin! Kamu mau siapa?”

Usul Adam. Ia juga menambahkan aturan siapapun yang ditunjuk tidak boleh balik menunjuk. Semuanya mengangguk setuju.

“Ngga, truth or dare?”

Dare!”

“Minum air laut pakai gelas!”

Angga ogah-ogahan berjalan ke laut. Ia menciduk air laut hanya seperempat gelas lantas meminumnya di hadapan teman-temannya. Lian dan Boy ngeri melihat Angga berupaya menghabiskannya sedangkan Rey dan Alin tertawa menonton ekspresi Angga yang nampak tersiksa. Angga menghilangkan rasa asin di lidahnya dengan berkumur air putih.

“Rey, truth or dare?

Truth!”

“Ah penakut!”

I don’t care!”

Balas Rey dengan nada mengejek. Tingkah mereka berdua membuat yang lainnya terhibur. Alin hanya menggeleng karena sudah terbiasa. Di mana pun tempat dua pemuda itu akan selalu terlibat pertengkaran kecil seperti kakak beradik.

Lihat selengkapnya