Mentari pagi di Jakarta Selatan bersinar cerah, namun sinarnya seolah enggan menembus celah-celah gorden kamar Anya yang masih tertutup rapat. Pukul delapan pagi, alarm ponsel Anya meraung-raung dengan melodi pop ceria, mencoba membangunkannya dari mimpi indah tentang berjemur di pantai Santorini. Namun, Anya hanya menggerutu, meraih ponselnya, dan menekan tombol snooze tanpa membuka mata. Selimut tebal berwarna dusty pink miliknya adalah benteng terakhirnya dari kenyataan pagi yang kejam.
"Lima menit lagi," gumamnya, suara seraknya tertelan bantal.
Namun, kedamaian itu tak bertahan lama. Getaran demi getaran muncul dari ponselnya, bukan lagi dari alarm, melainkan deretan notifikasi dari aplikasi belanja online kesayangannya. Pengiriman dijadwalkan hari ini, Paket Anda dalam perjalanan, Kurir sedang menuju lokasi Anda. Notifikasi-notifikasi itu seolah menjadi panggilan tugas bagi Anya. Dengan berat hati, ia memaksa kelopak matanya terbuka. Sepi. Rumahnya masih sunyi, ibu dan ayahnya pasti sudah berangkat ke kantor sejak subuh. Hanya tersisa dirinya, sang queen belanja daring, dan tumpukan kardus di ruang tamu yang menunggu untuk dibongkar.
Anya menyibak selimut, kakinya menjejak lantai keramik yang dingin. Ia meraih ikat rambut dan mengikat rambut cokelat panjangnya menjadi messy bun seadanya. Kaus oblong kebesaran dan celana piyama motif alpukat adalah fashion statement paginya. Ia melangkah gontai ke dapur, membuka kulkas, dan menuangkan sisa kopi dingin semalam ke dalam gelas kesayangannya bergambar karakter kartun menggemaskan. Aroma kopi yang pekat sedikit demi sedikit mengusir kantuknya.
Ia membawa gelas kopi itu ke ruang tamu, di mana pemandangan tumpukan kotak kardus berbagai ukuran sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Kardus-kardus itu berisi mulai dari skincare viral, tumbler edisi terbatas, outfit yang mungkin hanya akan dipakai sekali, hingga art supplies yang dibeli hanya karena lucu. "Astaga, Anya, kamu belanja sebanyak ini lagi?" gumamnya pada diri sendiri, sambil menggelengkan kepala. Ada rasa bersalah, tapi juga sedikit kebanggaan. Retail therapy memang candu.
Tepat saat Anya menyesap kopinya, suara deru motor yang familiar terdengar dari luar, berhenti di depan gerbang rumahnya. Disusul dengan suara bariton yang ramah namun cukup lantang, "Assalamualaikum, paket!"
Anya tersentak. Kopi di gelasnya sedikit bergoyang. "Waalaikumsalam, sebentar!"
serunya balik. Ia buru-buru meletakkan gelas kopi di meja samping sofa. Jantungnya berdebar, bukan karena excited akan paketnya, tapi karena ia belum sepenuhnya sadar dan penampilannya sangat... apa adanya. Ia menyempatkan diri mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan jejak bantal yang tercetak di pipi, dan sedikit merapikan poni yang menutupi mata.
Dengan langkah cepat, ia membuka pintu. Di balik gerbang, berdiri seorang pria. Perawakannya tegap, tinggi sedang, dengan rambut hitam pendek yang rapi. Senyum tipis terukir di wajahnya yang bersih, menampakkan lesung pipi samar di salah satu pipi. Ia mengenakan seragam oranye khas salah satu platform belanja online terbesar, dengan logo keranjang belanja yang familier terpampang jelas di dadanya. Paket berukuran sedang ia pegang erat di tangan kanannya.
Anya terpaku sejenak. "Kang kurir ini... ganteng banget," pikirnya spontan. Ia pernah beberapa kali menerima paket dari kurir ini, namun entah kenapa pagi ini wajahnya terlihat lebih jelas, lebih menawan. Mungkin karena cahaya matahari pagi yang menyorot langsung ke arahnya, atau mungkin karena Anya belum sepenuhnya melek dan otaknya belum sepenuhnya memproses realita.
"Atas nama Anya, ya?" tanya kurir itu ramah, suaranya terdengar renyah dan sopan. Senyumnya mengembang sedikit, menunjukkan deretan gigi putih yang rapi.
"Eh, i-iya, saya," jawab Anya sedikit gugup, mengibas-ngibaskan tangannya yang basah oleh sisa kopi. Ia meraih paket yang disodorkan sang kurir. Tangannya yang masih setengah tremor karena kantuk dan sedikit shock melihat ketampanan mendadak itu, tanpa sengaja menyenggol gelas kopi yang tadi ia letakkan di meja kecil dekat pintu.