Maya menatap jendela mobil yang membawanya melintasi jalanan yang sudah lama tidak ia lewati. Lembah Sembunyi. Nama itu selalu teringat dalam pikirannya sebagai sebuah tempat yang terlupakan, sebuah kenangan yang lebih terasa seperti mimpi buruk daripada tempat yang pernah ia sebut rumah. Kini, setelah bertahun-tahun menghindarinya, Maya kembali, dipaksa oleh keadaan—oleh ibunya yang sakit, dan oleh kenangan yang tak pernah benar-benar bisa ia lepaskan.
Hujan mulai turun perlahan, menciptakan kabut tipis yang mengaburkan pandangan. Jalanan desa yang sunyi, yang seharusnya menenangkan, malah terasa menyesakkan. Semua tampak sama seperti dulu. Rumah-rumah kecil berderet, kebun-kebun yang terjaga rapi, dan udara yang sejuk, bahkan lebih dingin dari yang Maya ingat. Namun, meski segalanya tampak sama, Maya merasa seolah dunia telah berubah. Ia sudah tidak lagi merasa seperti bagian dari tempat ini.
Desa ini, yang dulu menjadi rumahnya, kini terasa asing. Setiap sudutnya penuh dengan kenangan, kenangan yang ingin ia lupakan, kenangan yang kini muncul kembali, dipaksa hidup oleh rasa takut dan kerinduan yang tak terhindarkan. Maya melirik ke luar jendela, berusaha menenangkan pikirannya.
Satu-satunya alasan ia kembali adalah ibunya. Sejak dua minggu lalu, telepon dari ayahnya memberi kabar buruk—ibunya sedang sakit keras. Semakin lama, kondisi ibu semakin memburuk, dan meskipun Maya telah berusaha menghindar, kini ia terpaksa pulang. Pulang ke tempat yang selalu ia hindari, pulang ke Lembah Sembunyi, tempat yang dipenuhi dengan kenangan tentang keluarganya dan, tentu saja, Rian.
Maya menutup matanya sejenak, mencoba menepis bayangan wajah lelaki itu. Rian, sahabat masa kecil yang kini terasa seperti orang asing. Kenangan tentang mereka—berlari bersama di jalan-jalan setapak desa, tertawa tanpa beban—terasa seperti kisah yang terjadi di kehidupan orang lain. Maya tidak tahu apa yang lebih ia takuti—kembali bertemu dengan Rian atau kembali berhadapan dengan rumah yang pernah ia tinggalkan dengan penuh kemarahan.
Mobil berhenti di depan rumah tua yang kini tampak lebih lapuk. Rumah itu terlihat lebih kecil dari yang ia ingat, seolah tak bisa lagi menampung kenangan yang begitu besar. Maya menghela napas panjang dan melangkah keluar. Suara hujan yang jatuh di tanah, aroma basah tanah, semuanya begitu familiar, seolah semuanya menunggu untuk membawanya kembali ke masa lalu yang tak ingin ia ingat.
Belum sempat ia memasuki rumah, suara lembut memanggil namanya, membuat jantungnya berdebar. "Maya, akhirnya kamu pulang," kata suara itu. Maya menoleh, dan matanya bertemu dengan sepasang mata yang sudah lama ia tak lihat. Rian.
Rian berdiri di depan rumahnya, tersenyum tipis, namun senyum itu tak mampu menyembunyikan rasa canggung di antara mereka. Dia tampak lebih dewasa, lebih matang, namun mata itu—mata yang selalu penuh dengan tanya—tetap sama. Seperti dulu, ketika mereka masih bisa berbagi segalanya tanpa kata-kata.
"Maya," ucap Rian lagi, kali ini lebih lembut, seolah mencoba meraih kembali sesuatu yang sudah lama hilang. "Ibu sudah menunggu di dalam."
Maya hanya mengangguk, tidak tahu harus berkata apa. Wajahnya terasa panas, meski hujan terus turun, menambah kedalaman kesunyian di sekitar mereka. Dengan langkah ragu, Maya berjalan menuju pintu rumah, merasakan hujan yang menetes di wajahnya. Setiap tetesnya seperti membawa kembali kenangan yang sudah ia simpan rapat-rapat, kenangan yang kini kembali mengganggu pikirannya.
Di dalam, suasana rumah terasa berat. Ibunya duduk di kursi, wajahnya lebih tua dari yang Maya ingat. Maya berjalan mendekat, duduk di samping ibu, merasakan sentuhan hangat tangan ibunya yang semakin lemah.
“Maafkan aku, Bu,” kata Maya, suaranya pecah. “Aku seharusnya datang lebih cepat.”
Ibunya tersenyum lemah, namun senyum itu penuh dengan pengertian. "Tak masalah, Nak. Kamu sudah kembali. Itu yang penting." Namun di mata ibunya, Maya bisa melihat rasa sakit yang lebih dalam, rasa sakit yang tak terucapkan.
Maya menatap keluar jendela, matanya terfokus pada kabut yang semakin tebal. Rumah ini, desa ini, semuanya terasa begitu jauh, namun begitu dekat pada saat yang bersamaan. Maya tidak tahu bagaimana harus menghadapinya. Apa yang harus ia rasakan? Kenapa tempat ini masih bisa mempengaruhinya begitu dalam? Dan, yang lebih penting, apa yang harus ia lakukan dengan semua perasaan yang kini kembali menghantui dirinya?
Maya terdiam lama, matanya menatap kosong ke luar jendela, seolah mencari jawaban di balik kabut yang terus menyelimuti desa. Setiap detik di dalam rumah itu terasa lebih berat, lebih menekan. Ada perasaan aneh yang menggelayuti hatinya, sesuatu yang seharusnya tidak ada di sini, di tempat yang ia tinggalkan bertahun-tahun lalu.
Ibunya diam, seolah memahami bahwa Maya membutuhkan waktu untuk meresapi semuanya. Ruangan itu terasa hening, hanya suara detak jam dinding yang terdengar jelas. Suasana ini—di antara kenangan dan rasa cemas—seperti perangkap yang membuat Maya terjebak. Rumah yang dulunya penuh dengan tawa dan kehangatan kini terasa seperti ruang kosong yang menunggu untuk diisi kembali, namun ia tak tahu dengan apa.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah tangga, mengagetkan Maya dari lamunannya. Seorang wanita tua muncul di ambang pintu, wajahnya dipenuhi keriput dan senyum lembut yang tak pernah berubah. "Maya, kamu sudah pulang juga," katanya dengan suara serak, namun penuh kehangatan.
Maya menoleh dan melihat neneknya, yang kini tampak lebih tua dari yang ia ingat. Nenek itu berjalan perlahan menuju tempat duduk ibunya, duduk di sampingnya, dan menggenggam tangan ibunya dengan penuh kasih sayang. Maya hanya bisa menatap, merasa semakin asing dengan suasana rumah ini. Seolah-olah dirinya adalah orang luar yang tidak punya tempat di sini.
"Nenek," Maya akhirnya berhasil mengucapkan kata-kata itu, meski suaranya terdengar lebih pelan daripada yang ia inginkan. Neneknya tersenyum lembut, namun ada keraguan yang muncul di mata Maya. Apakah neneknya tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam dirinya? Apakah neneknya tahu betapa berat perasaan yang kini ia rasakan?
Ibunya tersenyum kecil kepada Maya, menyadari kebingungannya. "Kamu pasti merasa canggung, Maya. Kembali ke tempat ini setelah sekian lama... aku mengerti."
Maya mengangguk, tak bisa berkata-kata lagi. Perasaan campur aduk itu terlalu kuat. Ia ingin melarikan diri, kembali ke kehidupan yang telah ia bangun di kota. Namun, kenapa rasa itu tetap mengikutinya? Apa yang membuatnya merasa terikat kembali ke sini?
Di luar jendela, hujan semakin deras, mengaburkan pandangan Maya. Ia teringat akan masa kecilnya yang penuh kenangan indah—bermain dengan Rian, berlari di jalanan desa yang licin karena hujan, tawa riang mereka yang selalu mengiringi setiap langkah. Tetapi itu semua kini terasa seperti kenangan orang lain. Kenangan yang telah lama ia kubur dalam-dalam.
"Maya," suara ibu membuyarkan lamunannya, "Aku tahu kamu bukan hanya kembali karena aku yang sakit. Ada sesuatu yang lebih besar yang membawa kamu ke sini, kan?"
Maya menoleh, terkejut mendengar kata-kata ibunya. "Apa maksud ibu?"
Ibunya menatapnya dengan tatapan yang dalam, seolah ingin menelusuri setiap perasaan yang terpendam dalam diri Maya. "Kamu tidak harus menjawab sekarang. Tapi ingat, anakku, hidup ini tak selalu tentang meninggalkan atau melupakan. Terkadang, kita harus menerima kenyataan dan melihat kembali apa yang telah kita tinggalkan, untuk bisa melangkah ke depan."
Maya menghela napas panjang, mencoba mencerna kata-kata ibunya. Ia merasa seolah ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kembali ke rumah ini. Sesuatu yang mengikatnya pada masa lalu—pada Rian, pada desa ini, pada setiap kenangan yang ia coba lupakan.
Saat itu, suara pintu terbuka terdengar lagi. Maya menoleh dan melihat Rian masuk ke dalam rumah, berjalan mendekat dengan langkah perlahan. Wajahnya yang dulu tampak ceria kini terlihat lebih serius, lebih dewasa. Senyumnya yang dulu begitu lebar kini hanya tersisa sedikit, seolah dia pun tidak tahu harus berkata apa.