Namaku Meilan, seorang gadis remaja bermata sipit sedang menatap wajah orientalku di depan cermin yang berjarak dekat dengan wajahku. Mataku sipit, hidungku agak mancung, dan kulitku berwarna putih yang sangat berbeda dengan emak dan bapak yang bermata belok, berkulit agak gelap dan berhidung pesek. Aku merapikan rambutku dan mengaitkan di belakang telingaku, lalu pergi menuju lantai bawah. Rumah bapak dan emak adalah berbentuk ruko yang berjualan sembako.
Aku bersyukur telah tumbuh menjadi seorang gadis remaja selayaknya gadis remaja lainnya, meskipun aku bukanlah anak kandung dari emak dan bapak, mereka telah mengadopsiku menjadi anak angkat sejak aku lahir, karena tidak memiliki anak kandung. Ibuku adalah seorang gadis lugu dihamili oleh pria etnis Tionghoa yang lari dari tanggung jawabnya. Untunglah, ketika ibuku berputus asa dan hampir mengakhiri hidupnya, tak sengaja bertemu dengan emak dan bapak yang baik, sewaktu ibuku mencari pekerjaaan datang ke toko sembako atau toko kelontong mereka. Akhirnya mereka menampungnya di rumah sampai ibuku melahirkanku. Namun, saat aku lahir, ibuku mengalami pendarahan hebat dan tak dapat diselamatkan lagi, sehingga meninggalkan diriku untuk selama-lamanya yang membuatku hanya dapat mengenal ibuku dari beberapa fotonya saat sedang hamil yang disimpan oleh emak. Begitulah emak berkisah tentang siapa diriku, tepat aku berusia 20 tahun beberapa hari yang lalu. Menurutku, bukan kebetulan ibuku dapat bertemu dengan emak dan bapak yang berhati emas, tetapi Sang Pencipta telah memberikan takdir-Nya padaku. Emak dan bapak merawatku dengan kasih sayang yang tulus dan telah menghindariku dari kesengsaraan, bahkan mereka berdua tidak berharap balasan apa-apa dariku.
Sampai di lantai bawah, aku membuka jendela, matahari menerobos masuk ke dalam toko dan aku bersiap-siap hendak membuka toko sembako untuk membantu emak, dan hari ini aku berangkat kuliah siang hari, sebab kuliahku baru mulai siang hingga sore hari. Burung-burung telah berbunyi berulang, bertanda nada dering alam berisik di telinga. Seperti biasa, sebelum berangkat dan sesudah pulang sekolah, aku dapat membantu emak berjualan sembako di toko.
Ternyata pagi hari belum terlambat, meskipun matahari telah terbit dan bapak telah menyalakan motornya hendak berangkat mengajar di sebuah Sekolah Dasar yang lumayan dekat dengan rumah kami.
Aku berteriak riang datang menghampiri bapak, disusul emak yang berlari-larian kecil sambil memberikan tempat bekal makan siang untuk bapak.
“Bapak lupa membawa bekal buat makan siang,”kata emak seraya tersenyum kecil.
“Oh iya, bapak lupa,”ujar bapak menerima tempat bekal makan siangnya dari emak sembari mencium kening emak.
“Aku enggak ikut bapak, karena masuk siang,”ucapku sambil mencium tangan bapak, lalu bapak menepuk pundakku dengan lembut. Biasanya kalau ada kuliah pagi, aku berangkat ke kampus bersama bapak, karena kebetulan kampusku tak begitu jauh dari sekolah, tempat ayah mengajar.
Bapak mengangguk, kemudian tersenyum lebar padaku dan emak, berlalu dari hadapan kami berdua. Aku dan emak menatap motor bapak hingga lenyap di ujung jalan, lalu kami melangkah perlahan masuk ke dalam toko, langsung membenahi bermacam-macam sembako yang hendak dijual.
Dengan sigap diambilnya beberapa bungkus gula pasir, emak mulai menyusun dengan rapi di dalam lemari kaca bersama dengan barang-barang sembako lainnya, sedangkan aku membereskan barang-barang sembako lainnya yang lebih berat.
“Sekarang kamu sarapan pagi dulu, emak sudah menyiapkan di atas meja dapur!”teriak kecil emak dari belakang toko yang merupakan ruang dapur, tempat emak memasak. Aku datang menghampiri emak untuk mencuci wajan, bekas memasak nasi goreng. Namun, emak menolaknya, karena sudah terbiasa membersihkan sendiri semua peralatan masak, saat aku pergi kuliah pagi, lalu emak menyuruhku untuk menjaga toko sembako kembali.