Pukul 10.30 pagi telepon rumahku berdering, ada suara Nindy di dalam kampusku. Ia ingin aku datang ke kampus untuk berkumpul dengannya dan teman-teman seangkatanku untuk melakukan demonstrasi dengan aksi damai di dalam kampus. Namun, emak dan bapak tidak mengizinkan aku untuk datang ke kampus. Meskipun aku tak datang ke kampus, mereka selalu meneleponku untuk menceritakan apa yang terjadi di kampus.
“Meilan, ayo dong lo datang ke kampus. Diem-diem aja lagi. Enggak ada lo, enggak seru. Lo takut banget sama bapak lo?” tanya Nindy sambil terkekeh di telepon umum di dalam kampus.
“Gue enggak berani, bapak gue galak. Kalau ketauan gue pergi ke kampus, habislah gue,”ucapku pelan, takut bapak mendengar percakapanku dengan Nindy.
“Di sini sudah mulai ramai, ada aksi mimbar bebas, dimulai dengan acara penurunan bendera merah putih setengah tiang yang diiringi dengan lagu Indonesia Raya, dan mengheningkan cipta sejenak. Alhamdulillah, aksi orasi mimbar bebas berjalan lancar. Lo ke kampus aja lagi, semuanya masih dalam keadaan aman terkendali,”ujar Nindy santai.
“Sorry, gue tetep enggak bisa datang, tapi gue minta tolong lo harus sering-sering telepon ke gue, karena gue pengen tau apa yang terjadi di kampus,”kataku memohon Nindy di telepon.