Kepingan Luka Berdarah Kisah Mei 1998

Suhra Milhantri
Chapter #4

Bab IV Awal Kerusuhan Melanda Di Jakarta Dan Malapetaka Telah Menimpa Keluargaku (13 Mei 1998)

Setelah peristiwa penembakan mahasiswa yang berdemo di dalam kampus kemarin, pagi ini suasana menjadi sepi mencekam, mendadak senyap, dan bapak juga tidak pergi mengajar ke sekolah, sekolahnya mendadak diliburkan dan aku tidak diperbolehkan pergi ke mana-mana oleh emak dan bapak.

            Pak Mamat datang, tetapi belum membuka toko sembako seperti biasanya, bahkan hanya membantu berjaga-jaga memastikan pintu utama depan toko sembako terkunci rapat, juga pengaman tralis besi dan semua jendela. Emak tergopoh-gopoh turun ke depan toko melalui tangga, wajahnya terhenyak sesaat selesai melihat tayangan berita di televisi, bahwa kematian 4 orang mahasiswa di kampusku akan memicu kemarahan dan amukan masyarakat di Jakarta dan di daerah-daerah, sehingga kemungkinan akan terjadi kerusuhan di mana-mana. Emak mulai ketakutan. Selesai menonton berita di TV, kemudian emak menutup gorden, mematikan lampu, dan siap-siap mengunci pintu rumah.

              Tiba-tiba  telepon rumah berdering, tampak dahi bapak berkali-kali mengerutkan keningnya, setelah mengangkat telepon dan  berbicara serius di telepon dengan Pak RT.  Entah apa yang dibicarakan mereka berdua, raut wajahnya kelihatan begitu resah, nada bicaranya juga bergetar.

              Selesai berbicara di telepon, dengan tangan gemetar dan terburu-buru, akhirnya bapak berkata padaku, “Sekarang kamu pergi bersembunyi dulu di rumahnya Pak RT, tadi bapak sudah menelepon beliau. Pak Mamat, tolong antar Meilan sekarang dengan motor ke rumahnya Pak RT. Kamu Meilan, menyamarlah seperti laki-laki, pakai helm yang tertutup rapat dan kacamata hitam!”perintah bapak padaku dan Pak Mamat. Untung saja rumah Pak RT tidak begitu jauh dan tak harus melintasi jalan raya.

              “Lalu…, bagaimana dengan bapak dan emak?”tanyaku dengan air mata mulai  jatuh membasahi kedua pipiku, kemudian aku mencium kedua tangan emak dan bapak dengan perasaan tak karuan. Emak menyerahkan padaku tas ransel yang berisi beberapa bajuku, pakaian dalam, dan sejumlah uang untukku sambil berpesan padaku dengan air mata mulai berjatuhan di kedua pipinya, “Nanti kalau keadaan sudah aman, kamu cepat kembali. Jangan lupa beri kabar pada emak dan bapak.”

                “Kamu dan Pak Mamat harus berangkat sekarang juga. Jangan pikirkan emak dan bapak, yang penting kamu selamat!” teriak bapak menyuruh kami berdua untuk cepat-cepat pergi ke rumah Pak RT, karena beliau sudah menungguku.

Lihat selengkapnya