Aku terus memonitor perkembangan kerusuhan yang terjadi di Indonesia lewat tayangan berita televisi di Singapura, ternyata kerusuhan dan kekerasan seksual masih terjadi pada tanggal 15 Mei 1998, bahkan merupakan puncak dari kerusuhan. Terjadi berbagai tindakan kejahatan perusuh, seperti toko, gedung, dan rumah milik orang etnis Tionghoa dibakar dan dijarah. Puluhan perempuan etnis Tionghoa juga menjadi sasaran perusuh, sehingga mengalami kekerasan seksual dan perkosaan. Sungguh miris pemerkosa berani mendatangi korbannya ke rumahnya, ada pula yang dicegat di jalan-jalan kawasan pemukiman etnis Tionghoa.
Aku juga mendengar cerita sedih dari Gea, salah satu dari tim relawan, ada korban perempuan muda ethis Tionghoa di Indonesia yang diculik, lalu diperkosa ramai-ramai di dalam mobil penculik, disiksa dan dilempar dari mobil mereka. Sungguh kejam dan biadab perbuatan orang-orang itu ! Ada kemungkinan para pelakunya tidak takut, karena mereka akan luput dari hukuman! Inilah kenyataan yang harus dihadapi perempuan etnis Tionghoa, sebab hukum secara umum tidak berpihak padanya.
Banyak korban perkosaan yang ingin bunuh diri, sebab merasa menjadi aib bagi keluarga mereka, sehingga mereka merasa putus harapan, dan tidak ingin hidup lebih lama lagi.
Setelah kami pulang kembali ke apartemen, aku dan Gea, salah satu dari tim relawan berbicara tentang pengalaman dari korban-korban tersebut yang amat memilukan, sehingga membuat kami menjadi geram pada perbuatan penjahat kekerasan seksual itu.
“Bangsat! Rasanya aku ingin menghajar laki-laki yang telah memperkosa perempuan-perempuan yang tak berdaya,”kataku gemetar penuh kemarahan.
“Jangankan kamu, aku yang tidak memiliki darah Tionghoa juga sangat merasakan kesedihan perempuan-perempuan itu,”ucapnya dengan mimik sedih.
“Sudah pasti masalah ini akan menjadi trauma berat dan kesulitan psikologis bagi korban perkosaan dan keluarganya, sehingga korban perkosaan merasa takut, hina, dan masa depannya telah hancur, lalu berpikir lebih baik mati dengan bunuh diri,”jelas Gea panjang-lebar padaku.
“Dan warga masyarakat yang melihat peristiwa itu enggak berani menolong, karena takut pada massa akan mengeroyok mereka,”lanjutnya lagi.
“Aku jadi ingin sekali melindungi perempuan-perempuan itu. Tapi aku sendiri tak memiliki kekuatan apa-apa dan ada kemungkinan tidak percaya pada saksi mata yang telah melaporkan, bahwa telah terjadi kekerasan seksual atau perkosaan, menganggap saksi mata telah berbohong dan menyebarkan cerita sensasi, bahkan saksi mata bisa diancam jika berani bicara mengenai kejadian ini,”kataku dengan nada kesal.
Beberapa menit suasana hening, kami diam termenung. Namun tiba-tiba suara Kak Aksan terdengar memanggil namaku. “Meilan, ada telepon dari Indonesia!”teriaknya kecil.
“Aku ke sana dulu ya, kak,”pamitku pada Kak Gea, lalu aku melangkahkan kaki dengan cepat datang menghampiri Kak Aksan yang memegang telepon.
“Ini teleponnya,”ujar Kak Aksan sambil memberikan telepon padaku.
“Makasih Kak Aksan,”kataku tersenyum lebar seraya menerima gagang telepon darinya yang hanya dibalas dengan anggukan kepalanya dan senyuman juga. Lalu aku menarik kursi dan duduk di dekat meja telepon.
“Meilan? Ini gue, Nindy.” Suara Nindy di seberang sana, teman kampusku yang sangat kukenal.
“Nindy? Kenapa nada suara lo sedih banget? Lo, dapat dari mana nomer telepon ini?” Pertanyaanku bertubi-tubi, karena terkejut tak menyangka Nindy yang meneleponku.
“Akhirnya gue bisa bicara dengan lo. Enggak nyangka lo di Singapura, gimana kabar lo? Gue sedih banget, sebab gue dengar salah satu teman kampus kita ada yang jadi korban perkosaan dan akhirnya bunuh diri, karena malu,”ucap Nindy dengan terbata-bata.
“Hah? Siapa teman kita yang bernasib malang itu?” Tak sengaja aku bertanya dengan suara agak keras.
“Lingling…”