Di dalam pesawat, aku merasa gelisah tak dapat memejamkan mataku, hanya menguap untuk kesekian kalinya.
Terbayang wajah Kak Aksan di benakku, aku menghela napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Setelah itu, pandanganku tetap lurus ke depan, sementara berbagai macam hal mulai berkecamuk di pikiranku.
Mungkin sudah takdirku bertemu dengan Kak Aksan ketika ia sudah memiliki cewek yang dijodohkan oleh kedua orangtuanya yang sebentar lagi akan menjadi tunangannya. Belum juga pacaran, tetapi sudah merasakan putus, batinku sedih. Rasanya benar-benar sakit hati ini seperti tertusuk benda tajam. Lalu aku kembali berkutat dengan pikiranku,”Aku enggak boleh sedih. Hari ini hari yang menyenangkan, sebentar lagi aku akan bertemu dengan emak dan bapak yang sadah lama aku rindukan.”
Namun terngiang-ngiang suara emak di telingaku. “Meilan enggak usah punya pacar dulu, kalau sudah lulus baru punya pacar.” Aku tersenyum sendiri dan berkata di dalam hati,”Tenang mak, anakmu belum dapat cowok yang pas untuk jadi pacarnya.”
Selama beberapa menit aku melamun, menatap lurus ke depan, tiba-tiba ada seseorang yang menyentuh pundakku lembut yang membuyarkan lamunanku seketika seraya memberikan sebuah kotak yang berisi sepotong roti dan segelas air mineral. Aku menaikkan ke dua alisku, karena kaget, lalu mengucapkan terima kasih kepada seorang pramugari berwajah ayu yang memberikan sebuah kotak itu padaku.
Selama 2 jam perjalanan, akhirnya pesawatku mendarat juga di Bandara Soekarno Hatta, rasanya sudah tak sabar ingin secepatnya bertemu dengan emak dan bapak. Semalam emak sudah meneleponku, kalau mereka akan menjemputku di bandara dan begitu mendarat mataku segera mencari-cari sosok mereka.
Tiba-tiba saja ada suara yang sangat kukenal memanggilku,”Meilan!”
Kemudian aku menoleh ke arah suara itu dan menjerit kecil,”Emak! Bapak!”
Untuk beberapa detik, kami bertiga saling berpelukan dan menangis penuh rasa bahagia dapat bertemu kembali setelah sekian lama berpisah.
“Emak dan bapak naik apa ke bandara?”
“Naik mobilnya Pak RT. Sekarang beliau pergi ke toilet sebentar. Oh ya, rumah kita sedang direnovasi, jadi untuk sementara kita menumpang di rumahnya beliau.”
Mulutku menganga, ketika mendengar jawaban dari bapak. Sungguh baik hatinya Pak RT terhadap keluargaku, kami banyak berhutang budi dengan beliau, batinku menahan napas.
Tak lama kemudian, Pak RT datang menghampiri kami bertiga sambil berkata dan tersenyum lebar padaku,”Selamat datang kembali ke Indonesia, Nak Meilan!”
“Terima kasih Pak RT sudah mengantar emak dan bapak ke bandara. Bu RT enggak ikut?” Aku bertanya seraya mencium tangan beliau dan membalas senyumannya.