Siang ini adalah kali pertama aku menyetujui ucapan Ruslam yang sangat klise: Kalau pisah baru merasa kehilangan. Aku menyeruput es teh yang tinggal setengah gelas. Ruslam mengaduk-aduk bakso yang tinggal setengah mangkuk, lantas menambahkan tiga sendok sambal dan sedikit merica bubuk. Ketika bakso paling besar dibelah, kuah bakso itu makin merah dan pekat karena bercampur dengan telur ayam yang terbelah. Dengan penuh selera, Ruslam menusuk setengah bakso besar itu sampai mulutnya penuh. Aku menelan ludah meski baksoku sudah habis sedari tadi. Daripada jadi penjaga toko kelontong, dia lebih cocok jadi food vlogger.
Sluuurrrp. Aku mengernyit ketika mendengar Ruslam memainkan es tehnya. Kipas angin di atas kami mengibas-ngibaskan tisu gulung di meja, dan juga anak rambut Ruslam yang menjuntai. Meski saat makan siang dia selalu menguncir rambut gondrongnya, entah kenapa selalu ada anak rambut yang menjuntai.
“Kenapa nggak cari kerja di pasar ini lagi?”
“Emang ada lowongan?” dengan ketus aku menjawab, lalu menyeruput kembali es teh yang hampir habis.
“Kalau toko kelontong itu punyaku, kamu sudah aku kasih masuk,” dengan menggebu-gebu Ruslam melanjutkan ceritanya yang banyak andai-andai.
“Jadi apa?”
“Istriku dong, hahaha.”
“Sinting!”
Aku mengemas HP dan mengambil uang di tas selempang kulit yang selalu kubawa ketika keluar. Ruslam melahap sisa bakso dengan cepat. Setelah menghabiskan es teh, dia mengikutiku untuk membayar. Kami harus antre. Meski warung bakso Mbak Min kecil, pembelinya cukup banyak. Empat meja panjang yang tersedia penuh semua. Selain enak, warung Mbak Min juga menjadi favorit karena terletak di bawah pohon tanjung, sehingga rukonya tidak sepanas ruko-ruko lain.
“Bakso dua, es teh dua. Ini salam perpisahan kita,” Ruslam beralih memandangku.
“Tiga empat. Mau ke mana emang?” Mbak Min menatap Ruslam heran.
“Ya, kami besok kan libur jadi harus pisah,” Ruslam menjawab dengan asal dan cengengesan.
“Ah terserah!”
Ruslam tertawa. Aku berjalan mendahului dia. Begitu keluar, kulitku seperti terbakar, padahal di warung Mbak Min cukup sejuk. Aku mempercepat langkah, apalagi saat melewati deretan parkiran andong dan becak-becak. Di Pasar Ketapang, andong dan becak-becak tidak parkir terpisah. Mereka berseberangan. Bau kotoran kuda sangat menusuk hidung.
“Kalau aku jadi tukang becak, sudah aku garuk itu andong-andong,” oceh Ruslam di belakangku.
“Kalau aku jadi tukang andong, becakmu sudah aku injak pakai Kuda!”