Sampai di Toko Roudi 2, napasku tak beraturan. Mineral di atas meja kasir langsung kutenggak, meski tak tahu milik siapa. Di toko baju ini, minuman di tempat karyawan istirahat adalah halal untuk semua orang.
“Kusut amat?” Pertanyaan Pak Kus kuabaikan.
“Pasti ini ulah Ruslam,” tebak Pak Kus sembari terkekeh. Dia melanjutkan menata baju-baju kiriman terbaru ke dalam rak penyimpanan. Berbeda dengan Toko Roudi 1 yang menyediakan aneka baju dewasa, Toko Roudi 2 menyediakan baju anak-anak dan sebagai gudang stok untuk para reseller.
“Pasti ini ulah Pak Kus ya?”
“Ulah apa?”
“Pak Kus yang membisiki Ruslam kalau aku mau keluar dari toko ini?” Pak Kus tertawa, tanda mengiyakan. Aku mendecak kesal, tapi tidak ingin berdebat lebih panjang.
“Pak Kus kok sendirian? Mila sama Ratna ke mana?”
“Tu, dua, tiga, empat, dua belas. Mila sama Ratna di depan,” Pak Kus menulis angka 12 di buku catatan barang masuk. Mataku mengarah ke Toko Roudi 1 di seberang. Mila dan Ratna tampak berseliweran melayani pembeli.
“Kamu lanjutin ya, aku mau nyusul Nunu ambil barang lagi.” Buku catatan barang masuk beralih ke tanganku. Mendengar nama Nunu, kepalaku tiba-tiba pening. Aku meremas botol mineral hingga kempes, lalu mengatur napas sedemikian rupa.
“Kalna!” Aku terjingkat mendengar seruan itu. Setelah melihat Ruslam di depan meja kasir, aku kembali fokus mencatat barang masuk.
“Aku lagi kerja!”
“Aku juga kerja. Ini dari Bos Mami, katanya taruh Roudi 2,” Ruslam meletakkan dua lusin mangkuk gambar jago, kemudian langsung pergi. Aku lantas berpura-pura sibuk meneliti catatan ketika melihat Pak Kus dan Mas Nunu menggeret karung menuju Toko Roudi 2.
“Dua kodi celana jeans Armora, sekodi gamis anak Isabella, sekodi mukena parasit Jilbaba, dan sekodi celana dalam wanita Sexy.” Aku segera mencatat ucapan Pak Kus. Di sampingku, Mas Nunu menenggak mineral.
“Ini kamu tata lagi ya.”
Pak Kus pergi ke Toko Roudi 1, meninggalkan aku dan Mas Nunu. Dengan cekatan aku menaruh barang-barang baru ke rak. Tanpa ucapan, dia membantu memindah barang dari karung ke rak stok. Gerakannya santai seperti biasa. Aku juga diam, meski sebenarnya ingin membuka pertanyaan. Tidak biasanya dia begini. Aku jadi khawatir. Apakah dia sudah tahu aku akan keluar, lalu dia sedih? Kalau memang benar, kenapa dia malah bungkam?
“Beneran mau keluar?”
Tebakanku tepat sasaran. Kujamin kabar aku keluar dari toko ini, sudah menyebar ke seluruh penjuru pasar. Semua ini pasti karena ulah Ruslam dan Pak Kus.
“Rencana sih gitu,” jawabku tanpa menoleh ke Mas Nunu.
“Mau kerja di mana?”
“Masih nyari-nyari. Eh bentar ya, ada yang datang tuh.” Aku segera berjingkat menuju kasir, melayani perempuan muda yang menanyakan gamis anak.
“Ini, Bu. Ada cokelat, pink, kuning, biru laut.” Aku merentangkan sebuah baju gamis dengan aksen bunga-bunga di depan dada dan tali di bagian perut.
“Kalau yang putih nggak ada?”
“Kosong.”