Kereta Menuju Angkasa

Ayumi Hara
Chapter #3

Menyusun Rencana

 

Suara TV terdengar dari kamar, tanda Bapak, Ibu, dan Lintang sedang bersantai menonton acara yang mereka sama-sama suka. Kalau tidak satu frekuensi, mereka pasti bertengkar rebutan remote TV. Bapak dan Ibu suka sinetron azab, sedangkan Lintang suka sinetron remaja. Satu-satunya acara yang mereka sama-sama suka adalah acara ajang kontes dangdut.

Setelah terdengar suara iklan shampoo, kemudian terdengar opening acara kontes dangdut yang sebentar lagi menuju lima besar. Mau tak mau aku tahu soal kontes itu, meski tak sekali pun aku ikut bergabung menyaksikan.

 Sedikit berbeda dengan kakakku, Mbak Jannah, dia tak punya selera tontonan tertentu, tapi turut bergabung di depan TV—mungkin lebih tepat, Mbak Jannah tengah mendengarkan siaran TV. Sebab, di ruangan 3x4 meter itu dia sibuk merakit kardus bungkus bulu mata. Dengan upah borongan alias penghasilan yang dihitung perbungkus rakitan, Mbak Jannah mengumpulkan pundi-pundi dengan membawa lemburan ke rumah. Selama dua tahun dia bekerja, hingga kini sedang mengandung anak pertama, dia tetap bersemangat merakit lembar demi lembar bungkus bulu mata berukuran 10x7 cm.

 Melihat semangat Mbak Jannah, semangatku juga turut tersulut. Selepas Magrib tadi, Mbak Jannah memberikanku kemeja putih dan rok panjang hitam, katanya untuk persiapan kerja minggu depan. Dia dengar ada kasak-kusuk kalau minggu depan akan ada banyak karyawan baru. Aku menatap pakaian di depanku yang masih terlipat rapi di atas meja.

“Udah pengumuman?” Aku terjingkat ketika Ibu tiba-tiba menyibak tirai pintu. 

“Belum ada pengumuman lanjutan, mungkin sama seperti Mbak Jannah,” aku sedikit berbohong agar Ibu tak bertambah banyak tanya.

“Nggak ada yang lebih enak? Di kantornya gitu?”

“Susah, Bu. Diterima juga udah syukur.”

Tanpa menjawab, Ibu kembali ke ruang TV. Sejak aku melanjutkan sekolah ke SMK, Bapak dan Ibu punya harapan agar aku bisa bekerja di bawah AC, kerja yang katanya mengandalkan otak. Padahal pekerjaan apa pun pasti bikin kepala ingin meledak, jika sudah menemui batasnya.

Aku menghela napas panjang. Kata-kata Mas Lunas kemarin siang, membuatku merenung sejenak perihal rencana-rencana ke depan. Sebenarnya aku memahami, bahwa ketakutan-ketakutan dari dirikulah yang membuat ragu. Aku takut kelak justru menyesal jika keluar dari zona nyaman. Kenaikan jabatan yang aku impi-impikan, jangan-jangan tidak bisa aku raih karena banyaknya persaingan. Dengar-dengar, di pabrik banyak sikut-sikutan.

“Mbak Jannah sih malas sikut-sikutan. Paling bener jadi operator aja udah. Nggak harus lapor-lapor dan ketemu atasan. Bisa ketawa-ketiwi, enjoy,” ucap Mbak Jannah saat suatu kali pernah aku tanyakan perihal persaingan di dunia kerja.

“Ah Mbak Jannah terlalu pesimis. Kan seru kalau kenalan sama bos-bos besar. Sama siapa tuh, pemiliknya orang Korea atau Jepang?”

“Korea.”

“Nah itu, siapa tahu bisa menyapa annyeonghaseo.

“Mbak aminin aja deh. Seneng juga kalau punya adik bisa ngobrol sama Pak Bos. Ikut tenar nanti hahaha.”

Lihat selengkapnya