Selepas makan bakso pada jam makan siang, aku ikut menghambur Ratna dan Mila, duduk di lantai gudang stok pakaian. Sebelum kembali beraktivitas, kami biasa menghabiskan jam istirahat di sana, sekadar bersantai dan memakan camilan yang tak pernah absen dibawa Mila.
“Ngemil kacang mulu. Sekali-kali nih pizza,” spontan kami menoleh ke sumber suara. Mas Nunu tersenyum sambil mengangkat sekotak pizza ukuran medium.
“Tumben-tumbenan, Mas Nunu,” celetuk Mila. Dengan gesit, ia berdiri untuk mengambil kotak pizza itu.
“Kalau di kantorku, tiap ada yang mau resign, selau ada makanan penutup,” mata Mas Nunu melirik kepadaku, membuatku mengalihkan pandang ke ponsel yang masih memendarkan pesan Mas Nunu: di gudang kan?
“Bukannya masih lama?” Ratna menoleh kepadaku, meminta kepastian.
“Aku pergi dulu ya, selamat makan!”
Setelah Mas Nunu pergi, secara bersamaan, Ratna dan Mila mencengkeram bahuku.
“Kapan nih hari terakhir? Kok nggak bilang-bilang?” Wajah Mila yang galak, makin menyeramkan.
“Aku kira masih seminggu atau dua minggu lagi loh, Na,” dengan lemas, Ratna melepaskan cengkeraman. Ia lalu membuka kotak pizza. Sesaat, aroma makanan Itali itu memenuhi gudang yang sempit.
“Maaf ya agak mendadak. Niatnya emang akhir minggu ini. Tapi kemarin aku udah dapet chat kalau lusa udah kerja.”
“Yaaa, nggak papa sih kalau begitu. Berarti udah fix mau kerja di mana?” Mila mengambil sepotong pizza, melahapnya dengan cepat.
“Keterima di mana, Na?” Pertanyaan Ratna membuatku menelan ludah. Tapi aku kembali teringat kata-kata Mas Lunas, agar tidak malu jika orang-orang tahu aku bekerja di pabrik bulu mata.
“Di pabrik bulu mata.”
Aku tersenyum, senyumku tambah lebar ketika Ratna dan Mila tiba-tiba berhenti mengunyah.
“Ya aku harus nuruti kemauan Bapak dan Ibu. Biasa lah, anak baru lulus kayak aku, soal pekerjaan juga masih disetir,” aku mencari alibi. Ternyata ucapan Mas Lunas tidak cukup membuatku percaya diri.
“Nggak papa, Na. Di sana juga banyak kok yang sukses, bisa beli motor baru.”
Aku kembali tersenyum saat Ratna berusaha menghibur.
“Tapi nih ya, nggak banyak juga yang cuma betah seminggu. Habis itu nganggur lamaaa. Meski Bos Mami mau nerima kamu lagi, emang kamu nggak malu kalau langsung ke sini lagi?”
Ratna menyikut pinggang Mila hingga perempuan bertubuh gemuk itu meringis kesakitan.
“Kalau mau kerja di sini lagi, aku sih seneng banget.”
Tidak ada kata-kata lagi yang bisa keluar dari mulutku. Agar suasana tak makin pengap, aku memenuhi mulutku dengan sepotong pizza. Meski aku kaget dan tidak terima dengan ucapan Mila, tapi aku setuju dengan pendapatnya. Sejauh ini, aku masih belum percaya diri, belum menerima takdir membawaku pergi.
“Maaf, Na. Bukan maksud menyinggung. Aku cuma khawatir kamu nggak betah. Suamiku kan kerja di sana, dua minggu pertama ngeluh terus karena setiap akhir pekan justru pulang pagi. Kadang malah siang. Kerja 24 jam, siapa yang tahan?”
Kutebak, suami Mila bekerja di divisi packing. Dengar-dengar cerita, divisi itu memang paling banyak diminati, meski seperti kerja rodi. Gaji divisi itu satu-satunya yang digaji bulanan. Divisi lain, digaji borongan dan uang lembur lebih sedikit.
“Tapi emang lumayan sih uang lemburnya. Sekarang ya masih di sana, udah hampir setahun,” tambah Mila, seolah memberi celah bagi Ratna untuk bicara.
“Nah! Berarti nggak buruk-buruk amat. Pasti Kalna bisa lah bersaing di sana. Nggak usah dipikirin deh, dijalanin aja dulu. Yuk ah udah jam satu.”