Rina terhuyung, napasnya tersengal. Tangannya mencengkeram dadanya yang terasa se-sak, sementara matanya menatap kosong ke arah peron yang sunyi. Udara dingin menusuk kulitnya, tapi ia tidak peduli. Ia telah lolos.
Kereta itu… menghilang dalam kabut.
Masih gemetar, ia melangkah mundur, mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua telah berakhir. Sosok berjubah hitam, tangan-tangan mengerikan, jeritan tanpa wajah, semuanya telah tertinggal di sana.
Tapi, perasaan aneh menjalar di dadanya. Sesuatu terasa tidak benar.
Lalu, dari kejauhan, suara lirih terdengar.
"Rina?"
Rina terdiam. Jantungnya mencelos. Itu suara yang sangat ia kenal, suara yang tak seharusnya ada di sini.
Ia berbalik dengan cepat.
Di seberang peron, tepat di depan kereta yang samar-samar masih terlihat di balik kabut, berdiri seorang anak laki-laki. Matanya yang lebar menatap ke arahnya dengan bingung.
Rina menghambur maju. "Rio?! Apa yang kamu lakukan di sini?!"
Adiknya, Rio, hanya menatapnya tanpa mengerti. "Aku mencari mu. Aku melihatmu masuk ke dalam kereta, tapi kamu tidak keluar-keluar…"
Jantung Rina berdebar kencang. "Tidak… tidak, Rio, menjauh dari sana!"
Tapi terlambat.
Sebelum Rina bisa mencapai Rio, suara mendecit terdengar. Pintu kereta yang tadi tertutup perlahan terbuka kembali, seolah menyambut kedatangan baru.
Udara di sekitar mereka berubah. Lampu di peron berkelip-kelip. Bau busuk menyeruak dari dalam gerbong yang gelap.
Rio menoleh ke arah pintu itu, matanya menyipit. "Ada orang di dalam?" tanyanya polos.
Dan saat itu juga, dari dalam bayangan, sepasang mata hitam pekat menatap mereka. Mulut sobek yang menyeringai… tangan panjang yang merayap ke arah pintu.
Rina menjerit. "RIO, LARI!"
Tapi Rio malah melangkah mundur dengan ragu. "Kak, ada yang memanggil namaku dari dalam…"