Gemericik air hujan sesekali menyambangi gersangnya jiwaku. Setidaknya kesejukan sepoinya mampu menggelitik raga yang tak tau arah ini. Langkahku hampa, tiada tangan yang menggenggam menuntun dalam riang. Hanya suara-suara rindu penuh dusta yang selalu ku dengar. Perhatian palsu, datang dari dering kemewahan.
"Mama sudah kirim uang bulananmu ke rekening sayang"
"Makasih ma...akhir tahun gak pulang lagi ya?" kuselidik dan ku tagih janji nya.
"Mama usahakan ya sayang. Kangen rasanya pengen ketemu kamu, anak mama yang sudah remaja dan cantik" dering telepon adalah sebuah tanda sandiwara. Detik-detik sandiwara yang mulai membosankan. Harapan akan hadirnya mama sudah sirna, sama seperti pudarnya cintaku padanya.
"Mbah Marni minggu depan pulang kampung ma, kemungkinan tidak akan balik lagi ke sini. Anaknya ingin masa tua mbah Marni di rumah saja istirahat, berkumpul dengan anak cucu, bukan mengurusi anak orang lain" sedikit nada kecewa, aku juga ingin ada yang memperdulikanku.
"Sabar ya sayang, mama kerja cari uang buat kamu juga. Biar kamu bisa sekolah dan kuliah nantinya"
"Di sini tidak ada pekerjaan kah ma? Atau aku ikut mama saja"
"Kamu di sana saja! Kota besar bukan tempatmu bisa bermain bebas. Banyak anak nakal dan suka keributan. Jadilah anak baik,berprestasi dan membanggakan mama"