Kering

D. Andar
Chapter #1

Rindu Ayana

Mei hari keenam belas tahun 2021 kaki Genta menuruni bus yang membawanya dari Jakarta, sengaja memilih turun di pertigaan sebelum terminal. Dia melayangkan pandangan pada pangkalan ojek di seberang jalan, seorang lelaki tua tampak duduk mengantuk di bangku yang ada dalam gardu, di depannya motor Supra X biru terparkir miring. Kaki Genta terayun menghampiri gardu. Begitu sampai di sana, dia menyentuh lembut bahu Lelaki Tua, membuat si Lelaki Tua tersentak.

“Maaf mengganggu, Pak, saya mau ngojek.” Genta segera menjelaskan tujuannya.

“Oh, iya ... iya,” kata Lelaki Tua menggeragap. “Maaf, Mas, saya barusan ketiduran,” sambungnya sambil mengusap mukanya. “Masnya mau saya antar ke mana?” tanyanya kemudian.

“Ke Payonalas berapa, Pak?”

Lelaki Tua menyebutkan ongkos, Genta mengangguk menyetujui.

Supra X biru yang mereka naiki melaju pelan meninggalkan gardu. Masjid besar di sebelah pangkalan ojek mulai ramai pertanda waktu magrib sudah hampir tiba.

Kecepatan motor bertambah begitu meninggalkan keramaian, menembus jalan lurus di samping bukit yang berpagar pohon-pohon tinggi. Di sisi lain jalan terdapat rumah-rumah yang sudah dalam keadaan tertutup, dengan lampu dari balik jendela yang tampak bagai kerjapan sesaat ketika dilewati. Matahari belum sepenuhnya tenggelam, masih menyisakan semburat jingga di kaki langit. Namun, suasana sudah tampak remang-remang. Awan-awan di ujung timur mulai menggelap, gerombolan burung terbang melintas menyerupai bayangan hitam yang melesat, sepertinya hendak pulang ke sarang. Berada lagi di tempat kelahirannya, padahal baru beberapa bulan yang lalu dia di sini, Genta merasakan deja vu. Ada perasaan familier menjalar di dada Genta, perasaan yang muncul setiap kali pulang kampung.

Sudah hampir 5 tahun Genta jadi perantauan, dan dalam kurun waktu tersebut belum tentu ia bisa pulang setahun sekali. Terakhir Genta pulang 7 bulan lalu, setelah melewati tiga kali lebaran. Sebagai karyawan swasta yang belum sukses, Genta lebih memilih mengambil lemburan setiap ada kesempatan, bahkan di hari raya. Meski dia tahu lembur bukanlah satu-satunya alasan dia enggan pulang.

“Mudik itu harusnya menjelang lebaran, bukan beberapa hari setelah lebaran.”

Genta pernah mendengar kalimat itu di ucapan seseorang, dia lupa siapa tepatnya, mungkin ayahnya, atau teman sekamarnya di perantauan? Dan sekarang terngiang lagi di telinganya. Dia ingat sekarang, itu ucapan ayahnya, 4 tahun lalu. Setahun pertama setelah dia merantau, Genta yang berusaha menahan keinginan pulang saat lebaran tidak bisa menahan perasaan rindu pada Ayana, adik semata wayangnya yang umurnya terpaut 16 tahun dengan Genta. Pada akhirnya dia menyerah, beberapa hari setelah lebaran, dia membeli tiket bus dan nekat pulang ke kampung halaman. Persis seperti sekarang.

Sekarang Genta juga pulang karena rindu dengan Ayana, hanya saja ... rasa rindunya kali ini dipicu oleh mimpi buruk yang akhir-akhir ini menghantuinya.

Detak jantung Genta bertambah kencang saat ojek membelok ke jalan kecil, melewati kebun pohon sengon yang lumayan panjang. Sebentar lagi sampai. Genta gelisah.

Genta sangat dekat dengan adiknya. Dulu, waktu dia masih di rumah, gadis kecil berumur 7 tahun itu senang bermanja-manja padanya. Genta ingat momen saat ia mengayuh sepedanya kuat-kuat agar cepat sampai rumah setelah berpapasan dengan tetangganya yang memberi tahu ibunya sudah melahirkan. Perasaan sayang langsung meluap di hatinya begitu pertama kali melihat makhluk kecil yang berada dalam gendongan bidan. Dia berpikir, adiknya itu terlalu mungil, dia khawatir akan menyakitinya hanya dengan memegangnya saja. Jadi Genta cuma memandangi sang adik, mengerjap-ngerjapkan mata karena genangan air mata yang menghalangi penglihatannya. Saat itu dia begitu emosional. Perasaan kasih, takut, dan khawatir menggerumuti Genta seakan-akan membentuk simpul-simpul yang menjerat hatinya dengan erat. Dia merasa begitu rapuh. Namun pada saat yang sama, terdorong oleh keinginan kuat untuk melindungi adiknya dari segala hal buruk yang mungkin terjadi. Saat itu juga dia tahu bahwa hidupnya telah berubah, dan bahwa sosok kecil di depannya ini akan menjadi bagian terpenting dari dunianya.

Deretan pohon-pohon sengon digantikan oleh lahan kosong yang penuh belukar. Jantung Genta memompa lebih cepat. Seharusnya dia senang karena sebentar lagi sampai rumah, bukannya merasakan ketegangan dalam perutnya seperti yang terjadi sekarang. Udara cukup dingin, hampir membuatnya menggigil. Namun butiran-butiran keringat membasahi keningnya. Ada perasaan takut mencengkeram hatinya. Namun Genta tidak mengerti untuk siapa, dan atau apa perasaan takut itu muncul? Apakah ini akibat dari mimpi-mimpi buruk itu?

Lihat selengkapnya