Kering

D. Andar
Chapter #2

Rasa Gugup Bercampur Ngeri

“Gentong?!”

Genta tidak pernah suka panggilan tersebut, tapi kali ini, suara berat yang ia kenal itu bisa diibaratkan sebuah cahaya dalam kegelapan.

“Gentong?!” Suara itu kembali memanggilnya.

Genta mengerjap silau. Itu memang cahaya yang menerangi kegelapan, dari senter Mardiono, lelaki paruh baya yang bertanggung jawab dengan kelahiran Genta yang diarahkan tepat ke matanya.

“Ya, ampuuun ... ternyata benar kamu, Tong. Bapak kira tadi ada maling.” Mardiono tergopoh-gopoh menghampiri Genta, membantunya berdiri.

Tidak seperti umumnya seorang anak yang mengagumi ayahnya, Genta sama sekali tidak mengidolakan Mardiono. Bahkan dia cenderung tidak menyukai lelaki itu. Namun kehadiran Mardiono saat ini benar-benar berpengaruh pada perasaan lega yang tiba-tiba membanjiri dada Genta. Bertumpu pada lengan kekar ayahnya, Genta berdiri. Itu saja masih hampir terjatuh karena lutut Genta terasa lemas.

“Kamu ini kenapa, Tong? Mukamu pucat kayak habis lihat setan.”

Tidak hanya mukanya yang pucat, jantungnya pun masih terasa berpacu. Apa yang tadi dilihatnya? Hantu? Setan? Jin ifrit? Apa pun itu sudah berhasil membuat Genta ketakutan.

“Entar aja di rumah ceritanya, Pak,” kata Genta lemas. Entah nantinya dia bakal bercerita atau tidak yang penting sekarang Genta ingin merasa aman dulu.

“Hapeku, Pak,” kata Genta lagi teringat ponselnya yang terpental. Lalu merunduk sambil meraba-raba tanah mencari benda tersebut. “Tolong senternya arahin ke bawah, Pak. Hapeku tadi jatuh.”

Cahaya senter menyorot ke bawah, pandangan Genta mengikuti gerakannya. Dia mengerang ketika menemukan benda yang dicari tergeletak di dekat batu besar. Dipungutnya benda itu dengan harapan tipis dan mencoba menyalakannya, benar saja, ponsel itu mati. Kacanya retak dan ada bagian yang sompek.

“Rusak?” tanya Mardiono.

“Iya, rusak,” jawab Genta muram.

“Biar besok Bapak bawa ke tukang servis.”

Genta diam, dia menyimpan ponselnya ke saku celana, lalu dengan penerangan dari senter yang Mardiono bawa, kembali menyusuri jalan setapak di tengah kebun menuju rumah. Mardiono berjalan di depan, diam-diam Genta memandangi punggung ayahnya yang masih bidang. Sebelum kepulangannya 7 bulan lalu, dia selalu membayangkan seperti apa Mardiono sekarang? Apakah dia berubah? Apakah lebih kurus? Atau lebih gemuk? Nyatanya, tiga tahun bukanlah waktu yang panjang, Mardiono masih sama seperti kali terakhir Genta melihatnya. Tidak ada yang berubah, tetap kekar, tetap pendiam, tetap seenaknya memanggilnya Gentong.

“Bune! Ada Gentong!” teriak Mardiono memanggil Sumiah begitu sampai teras rumah.

Teriakan Mardiono terdengar terlalu keras bagi Genta, yang ia rasa agak aneh karena rumah mereka tidak terlalu besar. Rumah sederhana tipe tahun 90-an, dengan atap berbentuk pelana. Bangunan satu lantai berukuran 84 m² yang memanjang ke belakang dan memiliki teras dengan dua pilar di bagian depannya.

Terdengar suara gaduh di dalam, lalu suara pintu yang ditutup terburu-buru. Genta berniat masuk, tapi terhalang Mardiono yang berada di depannya.

Lihat selengkapnya