Kering

D. Andar
Chapter #3

Wajah-Wajah Panik

Menjelang dini hari, mata Genta belum juga terpejam. Lelahnya badan dan otak tak cukup mampu menimbulkan kantuk. Pikirannya melanglang, mencari tahu apa yang salah, yang telah terjadi? Berbagai pertanyaan berkecamuk, mengais jawaban.

Kejadian-kejadian aneh yang dia alami, jelas mengganggunya. Insiden di kebun dan sumur tadi seakan-akan ingin memperjelas mimpi buruk dan firasat Genta saat masih di Jakarta kemarin benar adanya. Hanya saja dia masih belum mengerti tentang apa itu? Kenapa wujud yang mengganggunya menyerupai Ayana? Si makhluk jelas bukan Ayana, Ayana mengidolakan kakaknya, dia tidak akan menatap Genta penuh kebencian seperti yang terjadi di sumur. Tatapan dingin sosok yang menyerupai Ayana tadi sangat mengusik, mengoyak nyali Genta, menguliti keberaniannya. Genta masih bisa merasakan getaran hebat pada lututnya saat ini. Mungkin dia sudah pingsan andai Sumiah tidak menyusul, sosok itu lenyap begitu suara Sumiah terdengar memanggil Genta.

Ada pertanyaan-pertanyaan yang timbul tenggelam dalam pikiran Genta. Bermacam-macam bentuk kepingan puzzle tersebar di otaknya, dia harus memungut satu demi satu, mencocokkannya, lalu memasangnya agar bisa menemukan jawaban. Kepingan puzzle pertama yang harus ia cocokkan ada di rumah kakeknya. Besok Genta akan ke sana, alangkah baiknya kalau sekarang ia tidur saja.

Entah berapa lama Genta terlelap, mungkin sekitar satu dua jam karena saat ia melirik jam dinding, jarum pendeknya berada di angka tiga dan jarum panjangnya menunjuk angka sepuluh. Suara derit benda digeser membangunkan dia. Genta duduk, mencoba menajamkan telinga. Benar, dia tidak salah dengar. Kali ini derit itu dibarengi bisik-bisik.

Perlahan dia turun dari tempat tidur, berusaha tidak menimbulkan suara saat membuka pintu kamar. Lampu ruang tengah di depan kamarnya mati, tapi lampu di dapur menyala dan cahayanya sampai ke tempat Genta berdiri. Bunyi-bunyian tadi terdengar dari arah sana. Masih berusaha tidak menimbulkan suara, dia berjalan menuju dapur.

Kamar Ayana berhadapan langsung dengan dapur, saat ini pintunya dalam keadaan terbuka. Genta kembali mendengar bisik-bisik dari kamar Ayana, sepertinya Sumiah dan Mardiono sedang berbicara dengan seseorang. Saat mengalihkan pandangan ke tengah dapur, Genta terkejut melihat ada seorang pria berusia pertengahan 30-an yang sedang duduk di salah satu kursi meja makan. Pria itu tidak melihat Genta, tampak sibuk dengan ponselnya.

Genta mengenal pria itu, namanya Bagus, dia tinggal di desa sebelah, selain bekerja di kelurahan dia juga terkenal sebagai asisten Harso Karyadi, seorang dukun yang tidak terlalu terkenal. Melihat kehadiran Bagus di rumahnya menghadirkan perasaan cemas di hati Genta. Pria itu tidak akan berada di rumahnya jika tidak bersama Harso.

Keahlian pendukunan Harso masih diragukan, tapi Mardiono memercayakan segala masalahnya pada laki-laki itu. Terutama jika salah satu keluarganya sedang sakit. Genta mengenali kebiasaan ayahnya, karena itulah dia merasa cemas begitu melihat Bagus ada di rumahnya pada jam-jam seperti sekarang.

“Mas Bagus sedang apa di sini?” Genta bertanya pelan.

Bagus terlonjak, ponsel dalam genggamannya terjatuh. Itu membuat Genta heran karena dia merasa suaranya tidak mengagetkan. Tidak hanya tampak terkejut saat melihat Genta, Bagus juga terlihat takut. Matanya melotot, seakan-akan ia tak percaya dengan penglihatannya, mulutnya membuka dan menutup, wajahnya pucat pasi, bahkan tangannya kentara sekali gemetar, reaksi yang menurut Genta berlebihan.

Namun Genta tidak sempat memikirkannya lebih jauh karena kemudian terdengar ribut-ribut dari kamar Ayana. Dia menoleh. Mardiono, Sumiah, dan—seperti yang diduga Genta—Harso berbondong-bondong keluar dari sana. Dahi Genta mengernyit, sekarang dia mulai curiga.

“Ayana di dalam?” tanyanya menghampiri mereka. Sumiah buru-buru menutup pintu kamar dan menguncinya.

“Biar Bapak jelaskan, Tong.” Mardiono meraih bahu Genta, membimbingnya menuju meja makan.

Genta merasa keberatan, tapi dia tidak bisa membantah ketika Mardiono menarik sebuah kursi dan menyuruhnya duduk.

“Ayana sakit,” kata Mardiono setelah semuanya duduk mengelilingi meja makan

“Sudah dibawa ke dokter?” tanya Genta, anehnya berita itu tidak mengejutkannya. Salah satu kepingan puzzle di otaknya terpasang pada tempatnya.

Mardiono melirik Harso. Genta tahu apa artinya dan itu membuat ia kesal. Sudah tahun 2021 dan orang tuanya masih mengandalkan dukun!

Lihat selengkapnya