Suasana tegang terasa mencengkeram. Genta memandangi keempat orang di sekitarnya bergantian. Waspada. Pikirannya sudah ke mana-mana, apalagi melihat wajah Sumiah yang pasrah. Ada sesuatu yang tidak beres, mereka tidak mungkin menghalangi sampai begininya kalau tidak ada yang mereka sembunyikan. Apa? Kenapa?
Kemudian, lamat-lamat terdengar azan subuh dari langgar. Seolah-olah ada jarum raksasa menusuk gelembung ketegangan yang membungkus kelima orang itu, secara mendadak suasana terasa mencair. Terdengar helaan napas di sana-sini. Genta ikut bernapas lega untuk sesuatu yang tidak ia mengerti. Selama sesaat tadi, dia mengira Harso dan Bagus akan menyerangnya, tapi mungkin itu hanya perasaan dia saja.
Sumiah berpaling ke arah Harso dan Bagus. “Sudah subuh, sebaiknya kalian berdua pulang,” katanya.
Mereka berdua serentak mengangguk, langsung berpamitan pada Mardiono dan kemudian pergi.
“Nanti kalau langit sudah terang, kamu boleh menengok Ayana.” Sumiah berujar pelan, memandang Genta sekilas kemudian beranjak dari meja makan menuju sumur.
Sedangkan Mardiono, tanpa bersuara, kembali duduk dan mengisap rokoknya lagi. Selama beberapa saat Genta bergeming, lalu setelah melihat Sumiah kembali dari sumur dan pergi ke kamarnya, dia beranjak ke kamar mandi.
Seharusnya Genta tidak tidur lagi, seharusnya dia menunggu hingga matahari menampakkan cahayanya. Namun, saat dia membaringkan diri berniat hanya untuk meluruskan badan, rasa kantuk menyergapnya cepat. Mungkin karena udara pagi yang sejuk, dengan semilir angin yang berembus melalui jendela kamarnya—yang baru saja ia buka—terasa melenakan. Hal terakhir yang ia ingat sebelum terlelap adalah kuapnya yang lebar.
Sinar menyilaukan, bunyi gaduh deritan pintu; kursi digeser; suara orang berbicara—bernada tinggi. Semua itu membangunkan Genta. Dia diam, suara yang semula lamat-lamat kini terdengar jelas. Sontak Genta terduduk dan bergegas bangun dari tempat tidur. Dia melirik jam yang menempel pada dinding kamarnya, jam bulat berwarna biru dengan hiasan gambar bunga di tengah-tengahnya. 10.57! Genta tak percaya sudah tidur selama itu. Dia bergegas menuju pintu kamar, lalu membukanya.
Bingung. Itu yang pertama Genta rasakan saat mendengar suara dari ruang tamu, sepertinya Sumiah dan Mardiono sedang bersitegang dengan seseorang ... atau dua orang?
Siapa yang bertamu ke rumah mereka? Genta tidak suka tamu, keberadaan mereka selalu membuat otot-otot perut Genta menegang, mulutnya terasa asam dan pandangannya berkunang-kunang. Tingkat keparahannya tergantung suasana hati Genta. Kadang dia bisa menahannya, berhasil menemui sang tamu meski sekujur tubuhnya merasakan sakit. Namun di lain waktu, rasa tidak nyaman itu begitu kuat sehingga dia memilih diam sambil berharap tamu itu segera pergi karena bosan mengetuk pintu.
Dulu Genta senang bertemu dengan tamu-tamu, dia akan langsung berlari keluar jika ada yang mengetuk pintu untuk membukakannya. Ketidaksukaan Genta pada tamu tidak muncul begitu saja, itu ada hubungannya dengan sebuah insiden yang terjadi di masa kecil Genta. Sesuatu yang tidak menyenangkan, yang tersimpan sangat baik di dalam amigdalanya.
Genta menggeleng, dia tidak pernah suka mengingat kejadian itu. Kembali fokusnya terarah pada suara di ruang tamu.
“Kalian ini lucu, masa mau nengok cucu sendiri kok enggak boleh!”