Pandangan Genta terarah pada jendela ruang tengah yang gordennya sudah dibuka.
Siapa tadi yang membukanya? Lek Irma kah? Genta bertanya-tanya di dalam hati. Aneh, ingatannya seakan-akan mengabur, Genta ingat dia menemukan adiknya yang sudah meninggal terbaring di kasur, tapi detail-detail setelah kejadian itu seakan-akan mengapung timbul tenggelam di otaknya.
Dari kaca jendela yang sedikit berdebu, Genta melihat pohon singkong memenuhi halaman samping. Mardiono tidak pernah membiarkan ada lahan kosong, pasti langsung ditanami sesuatu. Kalau bukan pohon singkong ya pohon pisang.
“Urip kuwe kemaki, Nang. Kowe kudu kerja keras, kerja keras, kerja keras, nek kepengin sikilmu tetep napak lemah.”[1]
Genta ingat ayahnya pernah berkata begitu. Umurnya saat itu mungkin baru 7 tahun, dia berjongkok di dekat ayahnya yang sedang menggali tanah dan menancapkan batang-batang singkong yang dipotongi sekitar 20 cm setelah sebelumnya ujungnya diruncingkan terlebih dahulu. Semburat kemerahan menggores kaki langit sebelah barat, dengan bola jingga besar yang secara perlahan mulai tenggelam. Mardiono baru pulang dari kebun karet milik Pak Haji Sunar, ember hitam tempat peralatan menderesnya bahkan belum dibawa masuk. Genta mendengarkan sambil mengamati yang dilakukan sang ayah dengan penuh perhatian, dia senang kalau Mardiono sedang tidak memanggilnya “Gentong”.
Urip kuwe kemaki, Nang....
Genta menarik napas berat. Warna hijau dari daun singkong yang memonopoli penglihatannya perlahan mengabur, membentuk sosok tubuh yang terbaring di ranjang dalam kondisi mengenaskan. Gelombang sesak menghantam dada Genta, melilit jantungnya hingga menimbulkan perasaan perit.
“Genta.”
Genta menoleh, Muhidin sudah berdiri di sampingnya, memandangi sang cucu dengan sorot mata prihatin.
“Kamu yang sabar ya....”
Muhidi tidak pernah ikut-ikutan memanggil cucunya dengan sebutan “Gentong”, mungkin karena ia pernah melihat Genta mengamuk saat Mardiono memanggilnya dengan panggilan tersebut.
Ingatan Genta melayang ke masa lalu, masa ketika umurnya baru lima atau enam tahun....
“Namaku Genta, bukan Gentong!” Genta merajuk, mengentak-entakkan kaki ke tanah sebagai bentuk protes ketika sang ayah memanggilnya Gentong.