Orang mengira ada batas antara hidup dan mati, menurut Genta tidak. Hidup dan mati adalah sebuah kesatuan, dua hal berbeda yang berjalan beriringan. Seperti pria dan wanita, atau yin dan yang. Manusia tidak akan mati kalau belum merasakan hidup, begitu juga sebaliknya, mereka tidak akan pernah merasa hidup kalau tidak akan mati.
Meski tidak memiliki batasan, pada dasarnya antara hidup dan mati ada perbedaan yang mencolok, walau kadang sebagian orang tidak bisa merasakannya. Seperti Genta saat ini, misalnya. Dia bisa bernapas, tapi hanya kehampaan yang ia rasakan. Dia mampu beraktivitas seperti manusia hidup pada umumnya, tapi kekosongan yang tak terlukiskan menyelimuti jiwanya. Ada lubang besar tak kasatmata yang tercipta di dada Genta, tak ada kedamaian, tak ada ketenangan ... seolah-olah semua yang datang padanya hanyalah semu belaka.
Payonalas geger dengan tersebarnya berita kematian Ayana. Orang-orang berduyun-duyun datang ke TKP, berkerumun dan bergunjing. Meski yang sampai ke telinga Genta hanya suara bising dari sekumpulan orang, otaknya seakan-akan bisa mendengar perbincangan mereka.
“Wong tua sinting, anake dewek dipateni[1].”
“Ini gara-gara Harso, sudah kubilang dia dukun gadungan!”
“Rukiah itu dibacakan doa, bukan ditenggelamin.”
Atau ... itu sebenarnya suara-suara yang ada dalam pikiran Genta sendiri? Suara-suara yang muncul akibat kemarahannya pada Mardiono dan Sumiah.
Aipda Ferry Rustam dan beberapa polisi lain masih ada di lokasi setelah yang lainnya pergi, dia memberikan penjelasan kepada keluarga korban bahwa mereka harus menyegel TKP. Dengan kata lain, Genta tidak bisa tinggal di rumah ini sampai kasusnya selesai. Untuk sementara Genta akan tinggal di rumah Muhidi, karena dia belum diperbolehkan kembali ke Jakarta oleh pihak kepolisian.
Desa tempat tinggal Muhidi bernama Palangwit, masih satu kabupaten dengan Payonalas. Jarak antara kedua desa sekitar 20 kilometer, membutuhkan waktu kurang lebih setengah jam naik motor untuk sampai ke sana. Genta bersama Muhidi, Purwa, dan Irma meninggalkan rumah begitu matahari menggelincir ke arah barat.
“Bawa barangmu masuk, Genta. Kamu tidur di kamar biasa ya, Mbah mau istirahat dulu,” kata Muhidi begitu mereka sampai di rumahnya. Dia masuk ke rumah diikuti menantunya.
Genta dan Purwa masih diam di tempat, sama-sama termenung selama beberapa saat.
“Kamu baik-baik aja?” tanya Purwa memecah keheningan, menoleh pada keponakannya yang berdiri di sampingnya.
Genta mengangguk. Saat ini dia memang merasa baik-baik saja.
Purwa terlihat ragu sebentar sebelum dia melanjutkan kata-katanya. “Lek Pur sama Lek Irma enggak bisa di sini terus, tapi kalau kamu butuh apa-apa, kamu bisa telepon Lek Pur kapan aja,” ujarnya pelan. Meski Sumiah adalah kakak satu-satunya, dia tidak terlalu dekat dengan keponakannya, mungkin karena dia jarang berada di rumah, sejak muda sudah merantau ke luar kota sampai menemukan jodohnya dan menikah di sana.