Kering

D. Andar
Chapter #7

Sifat Kejam

Tempat ini sempit, dingin, dan lembab. Genangan air keruh setinggi pinggang merendam Genta, kaos dan celana pendek yang ia kenakan basah, melekat pada tubuhnya yang menggigil. Dinding berbentuk silinder yang mengurung Genta menonjolkan bata-bata kasar yang licin karena dipenuhi lumut. Dia mendongak, melihat lingkaran berdiameter 1,5 meter di atasnya, awan lebam menggantung di sana. Tidak perlu berpikir dua kali untuk menyadari dia berada di dalam sumur, dia bahkan tidak bertanya-tanya kenapa ada di sini? Seolah-olah kejadian seperti ini adalah lumrah dan sudah sering terjadi.

Isi perut Genta bergolak, tangannya gemetar saat mencoba meraih tonjolan bata, dan mencoba mengangkat tubuhnya dengan berpijak pada tonjolan bata yang lain. Namun menaiki dinding sumur yang licin bukanlah hal mudah, apalagi dengan perasaan takut yang mencengkeram. Berkali-kali mencoba dan berkali-kali juga ia terjatuh. Tubuhnya babak, lutut dan tangannya penuh dengan luka-luka barut. Dia merasa putus asa dan ingin menyerah, kembali mendongak. Langit tampak semakin lebam, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Genta mulai panik.

“Tolooong!” teriaknya serak, yang hanya disambut dengan gema suaranya sendiri. Tidak ada siapa-siapa di atas sana.

“Tolooong!” Dia mencoba lagi, kali ini lebih keras.

Genta menarik napas lega, sepasang tangan terulur meraih tali timba kerek. Ember hitam yang tergantung bergerak turun, seiring dengan bunyi deritan katrol berputar dan gesekan tali timba yang khas. Senyum lega Genta yang tadi sempat merekah mendadak lenyap ketika seseorang melongok dari bibir sumur.

Reaksi tubuhnya begitu spontan, mematung kaku, merasakan aliran darah yang berdesir turun. Untuk sekian waktu, dia yakin jantungnya telah berhenti berdetak. Sosok—yang tadi ia kira “seseorang”— kini memasuki sumur, merayap turun dengan gerakan cepat, menyalip laju ember timba. Tubuh makhluk itu melekat pada dinding sumur seperti cecak, matanya terpaut pada mata Genta yang tak bisa berkedip, sementara rambut tipisnya menjuntai, melambai-lambai mengikuti gerakan tubuhnya.

Wajah Genta sudah seputih kapas, jantungnya berdetak kencang dan tak beraturan sampai-sampai setiap denyutnya terasa seperti pukulan keras di dadanya. Sosok itu semakin mendekat, alarm dalam otak Genta berdering, memperingatkannya untuk cepat bertindak. Namun tubuh Genta sama sekali tidak bisa merespon. Dia seakan-akan membeku, seluruh sendi dan tulang-tulangnya terasa kaku dan dingin. Alih-alih memalingkan wajah, dia justru terpaku, tak bisa melepaskan matanya dari tatapan dingin makhluk itu.

Lihat selengkapnya