Kering

D. Andar
Chapter #8

Pelampiasan Rasa Kecewa

Langit seakan mewakili suasana hati Genta pagi ini. Awan gelap menggantung bergumpal-gumpal, sementara air hujan mengguyur bumi dengan begitu deras. Pohon pisang di halaman depan meliuk-liuk tertiup angin, daunnya saling beradu satu sama lain. Genta duduk dengan gelisah di teras rumah, memandangi genangan air yang mungkin sudah sampai semata kaki. Secangkir kopi yang mengepulkan uap panas berada di meja bundar di sampingnya.

“Hujan pasti belum akan berhenti sampai sore.” Dari sudut mata, Genta bisa melihat kakeknya yang berdiri bersandar pada pinggiran pintu.

“Sepertinya iya,” ujarnya lesu.

“Rencana kunjunganmu ke kantor polisi mungkin harus ditunda.”

Tapi siapa yang bisa memastikan besok tidak akan turun hujan?

“Lihat nanti coba, Mbah,” gumam Genta dengan tatapan menerawang, ide untuk menunda kunjungannya ke kantor polisi terdengar bukan sebuah solusi. “Lek Pur jadi pulang hari ini, Mbah?” sambung Genta bertanya, menoleh ke arah Muhidi.

Muhidi menggeleng. “Diundur sampai selesai selamatan tujuh hari Ayana,” jawabnya menjauhkan tubuhnya dari pinggiran pintu dan berjalan ke kursi kosong di sebelah Genta. Sambil duduk, beliau mengamati wajah cucunya. “Kamu kurang tidur?” tanyanya menyelidik.

Refleks Genta mengusap mata dengan telapak tangan. “Semalam terbangun terus enggak bisa tidur lagi.”

“Kenapa? Mimpi buruk?”

“Cuma karena suasana baru aja, Mbah,” jawab Genta berbohong.

“Kamu juga enggak harus buru-buru balik ke Jakarta kan? Paling enggak nunggu sampai tujuh hari seperti paklekmu.”

Genta mengangguk. Andaikan pihak kepolisian mengizinkan dia meninggalkan tempat ini, mungkin dia akan kembali ke Jakarta hari ini. Dia menyayangi Ayana, hanya saja ... firasatnya mengatakan dia akan terus-menerus dihantui masa lalu selama berada di sini. Genta menggigil, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan cuaca pagi ini, sosok gempal berwajah bulat dengan pipi tembam berkelebat dalam benaknya.

“Kamu kedinginan? Masuk aja dulu, Lek Irma udah menyiapkan sarapan di meja makan.” Muhidi terdengar khawatir.

“Iya, Mbah,” desah Genta, dia meraih cangkir kopi dan menyeruputnya perlahan. Untungnya udara memang terasa sangat dingin.

“Mbah udah makan?” tanyanya kemudian sambil meletakkan lagi cangkir kopi ke meja.

“Udah, tadi. Kamu makan sana.”

Genta mengangguk, kemudian berdiri. “Habis makan nanti, aku mau langsung ke kantor polisi ya, Mbah,” katanya sebelum beranjak masuk.

“Tapi ini hujannya masih deras lho.”

“Enggak apa-apa, nanti pakai mantel. Aku pinjam motornya Mbah, ya?”

“Pakai aja. Tapi hati-hati, kalau hujan begini biasanya jalanan becek.”

Genta kembali mengangguk, lalu masuk ke rumah.

***

Genta dan Mardiono duduk diam saling berhadapan. Genta merasa sangat canggung, hanya berdua dengan Mardiono di dalam ruangan 3x5 meter ditemani seorang pria berseragam yang berdiri di sudut dengan sikap tegak. Tidak ada perabotan selain meja kursi yang diduduki dia dan ayahnya. Keempat dinding bercat putih yang mengelilingi ruangan tidak memiliki jendela, hanya ada sebuah loster di atas pintu yang tertutup rapat, dan mungkin terkunci. Sinar lampu sepuluh watt yang terpasang di tengah-tengah plafon menyala redup, memberikan penerangan secukupnya. Kondisi ruangan yang remang-remang menciptakan suasana yang sedikit menegangkan ... dan menyesakkan. Genta berusaha mengabaikan khayalan keempat dinding yang bergerak maju seakan-akan siap mengimpit siapa pun yang ada di dalam ruangan.

Mardiono tidak memandang ke arah Genta, dia melemparkan tatapannya ke sudut ruangan di belakang putranya. Wajahnya datar, sorot matanya keras, sikap yang selalu ia tunjukkan jika merasa terancam. Ketidaktahuan akan apa yang Mardiono pikirkan membuat Genta merasa frustrasi.

“Jelaskan ke aku, Pak,” pinta Genta, entah kenapa dia merasa putus asa.

Mardiono melirik Genta sekilas, kemudian kembali melihat ke sudut ruangan. Genta membayangkan jika Mardiono diizinkan merokok, saat ini dia pasti akan mengisap rokoknya dalam-dalam, menahan asap di dalam mulutnya, lalu mengembuskan perlahan melalui sudut bibirnya. Genta tahu ayahnya tidak akan menjelaskan apa-apa.

Lihat selengkapnya