Kering

D. Andar
Chapter #10

Tempat Kenangan-Kenangan Buruk Masih Terpendam

Sehari setelah mayat Ayana ditemukan, pemberitaan mulai ramai. Semua media berlomba-lomba menayangkan berita gadis berusia 7 tahun yang tewas dan mayatnya dibiarkan mengering selama 4 bulan. Lebih menggegerkan lagi, orang tua korban ikut andil dalam kematian anak tersebut. Ayana viral.

Genta tidak tahu harus bersikap bagaimana. Dia berharap kasus Ayana cepat selesai dan peran media mungkin sangat penting di sini, tapi dia juga tidak suka mereka terus menerus mengeksploitasi adiknya. Apalagi dengan beredarnya foto jenazah adiknya di media sosial. Sangat mengganggu. Apa orang-orang yang menyebarkan foto itu tidak tahu kalau perbuatan mereka melanggar privasi? Apa mereka tidak memahami perasaan keluarga korban?

Wartawan silih berganti mendatangi rumah Muhidi. Mewawancarai kakek Genta; Purwa dan Irma; tetangga-tetangganya, tapi tidak sekali pun pernah mewawancarai Genta. Pemuda itu selalu berhasil menghindari pers bahkan sebelum mereka melihat Genta. Tidak ada yang ingin Genta bicarakan, terutama dengan wartawan.

Malam kedua di rumah kakeknya, Genta sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Dia sudah menghitung rangken sampai ke angka entah berapa, bolak-balik beberapa kali, tapi kantuk belum juga menghampirinya. Genta bangun dan menurunkan kaki ke lantai, ia duduk di tepi ranjang. Pandangannya terarah pada jam dinding yang menunjukkan angka 21.30. Belum terlalu larut sebenarnya. Tapi suasana sudah begitu sunyi, hanya terdengar suara tonggeret yang bersahutan dengan jangkrik. Tidak ada bunyi lalu lalang kendaraan seperti di kontrakannya. Tidak ada suara orang mengobrol menembus dinding dari kamar sebelah, atau bunyi kelontang peralatan dapur. Tidak ada dentingan sendok yang dipukulkan ke mangkuk tanda tukang bakso lewat, atau ketokan kayu tanda penjual nasi goreng yang sedang berkeliling. Keheningan ini terasa menyesakkan. Genta bangkit, berjalan mondar-mandir di kamarnya selama beberapa saat sebelum memutuskan untuk mencari angin segar. Dia berjalan keluar dari kamar, berusaha tidak menimbulkan suara. Kamar Muhidi berhadapan dengan kamar Genta, tidak terdengar suara apa pun dari dalam sana, semoga saja kakeknya sudah tertidur. Genta melirik kamar di sebelah kamar Muhidi, di sanalah Purwa dan istrinya tidur, sedangkan kamar di depannya—yang berarti di sebelah kamar Genta—digunakan untuk gudang. Bagian depan keempat kamar yang saling berhadapan itu berada, membentuk lorong yang menghubungkan ruang makan dengan ruang tengah, Muhidi biasa menggantung kunci motornya pada dinding lorong yang terdekat dengan kamarnya. Genta  meraih kunci motor Muhidi dengan hati-hati, mengendap ke ruang tamu dan secara perlahan mengeluarkan motor. Dia menstandarkan motor di teras, mengambil anak kunci dari pintu bagian dalam, menutup pintu pelan dan menguncinya lagi, mengantongi kunci tersebut sambil berjanji pada dirinya sendiri akan cepat kembali, lalu menuntun motor menjauhi rumah agar tidak ada yang mendengar saat ia menstarter. Untunglah Muhidi rajin merawat motor sehingga bunyi mesinnya tidak terlalu berisik.

Udara terasa lembab, embusan angin menerpa tubuh Genta yang hanya mengenakan kaos. Jalan desa lengang, sesekali satu dua kendaraan berpapasan dengan Genta, memancarkan cahaya lampu yang menyilaukan. Langit gelap membentang, bulan sabit dengan lengkungan yang sempurna menggantung, dikelilingi cincin putih yang bersinar redup. Bintang-bintang tampak seperti lukisan cahaya di kanvas malam, berkelip seperti mata yang sedang mengawasi dari kejauhan, khusus malam ini kilaunya terasa dingin dan tak terjangkau—seperti impian yang memudar, seperti kenangan yang masih berpendar namun tak lagi menghidupkan hati yang telah mati. Awan cirrus yang menyerupai kabut tipis bergerak perlahan sesuai arah angin.

Saat memutuskan untuk keluar, Genta sebenarnya tidak berniat pergi jauh. Ia hanya ingin keluar sebentar, menghirup udara segar. Namun, tanpa disadari, kini ia mendapati motornya melaju di jalan kecil yang mengarah ke rumahnya di Payonalas. Genta menepikan motornya di pinggir jalan, matanya memandang ke depan dengan tatapan kosong. Kebingungan dan kecemasan mulai menyelimuti pikirannya. Jarak ke rumahnya hanya tinggal beberapa meter lagi, dia bisa saja pergi ke sana sebentar, melihat rumah tempat ia dibesarkan, melihat kamarnya, melihat kamar Ayana....

Denyut jantung Genta meningkat. Dia tidak ingin melihat rumah itu lagi, tak ingin mengingat semua kenangan yang menghantui. Dia lebih ingin kembali ke rumah kakeknya, berbaring di atas tempat tidur, dan menghitung rangken di langit-langit hingga terlelap. Keringat dingin mengalir dari tengkuk Genta, meluncur ke punggungnya, membuatnya merinding. Keringat itu terasa seperti bulir es, mengingatkannya pada ledekan Mardiono semasa kecil yang pernah memasukkan es batu ke dalam bajunya.

Seharusnya, Genta berbalik arah dan kembali ke jalan yang tadi dilaluinya. Namun, entah mengapa dia malah menarik gas motor, membuat roda motornya bergerak maju secara perlahan di jalan tanah berbatu yang tidak rata, hingga sepasang tugu kecil yang mengapit jalan menuju rumahnya muncul di depan mata.   Di sanalah ia berhenti, tepat di samping tugu itu. Genta turun dari motor dan berdiri di antara tugu, menatap rumah yang hanya terlihat atapnya, sementara bagian lainnya terhalang oleh pepohonan singkong yang rimbun. Rumah itu, selalu akan menjadi tempat kembali bagi Genta, meski ia tidak ingin. Seolah ada kekuatan tak terlihat yang menariknya kembali ke sana, ke tempat kenangan-kenangan buruk masih terpendam, siap menyergap kapan saja.

Sudah cukup. Genta harus kembali ke rumah kakeknya sekarang. Dia hendak berbalik kembali ke motor.

“Mas Genta.” Bisikan itu terbawa angin, sampai ke telinga Genta.

Lihat selengkapnya