Kering

D. Andar
Chapter #11

Kesengsaraan Sumiah

Sumiah tidak pernah membantah perkataan Mardiono, bahkan ketika hatinya menolak. Didikan keras sang ibu membuat dia tumbuh menjadi wanita penurut, tak pernah terpikir olehnya untuk menyuarakan pendapat. Sesuai dengan perspektif budaya Jawa, hidup Sumiah tidak jauh-jauh dari tiga hal: dapur, sumur, dan kasur. Baginya, tugas yang paling penting adalah menyenangkan hati Mardiono. Pria yang sudah bersedia pontang-panting mencari nafkah demi bisa menghidupi dia—orang lain yang telah pria itu jadikan istri.

“Kamu seharusnya bersyukur Mardiono mau menikahimu, dia memang bukan orang kaya, tapi dia pekerja keras.” Nasihat almarhumah ibunya membekas dalam otak Sumiah.

Jika dibandingkan dengan gadis-gadis lain di kampungnya, sebenarnya Sumiah tidak kalah menarik. Badannya mungkin lebih berisi, kulitnya lebih gelap akibat terik matahari, tapi ada daya tarik tersendiri yang memancar dari wajahnya. Senyumnya lembut dan matanya yang bulat besar memberi kesan hangat dan ramah. Hidungnya yang pesek, bukannya mengurangi, justru menambah ciri khas yang membuat Sumiah terlihat unik dan berbeda. Parasnya tidak menonjol dalam arti tradisional, tetapi itulah yang membuat kecantikannya tidak membosankan. Ada pesona alami terpancar dalam dirinya, pesona yang muncul dari kecantikan yang tidak sempurna.

Sumiah menikah saat usianya baru menginjak 19 tahun, terpaut 5 tahun dengan usia suaminya. Setelah menikah, Mardiono memboyong Sumiah ke rumah peninggalan orang tua pria itu.

Setahun kemudian mereka dikaruniai seorang putra yang diberi nama Genta Rangka Saguna, sebuah nama yang dipilih Mardiono dengan penuh kebanggaan dan harapan besar. Karena bagi Mardiono, Genta bukan hanya sekadar anak, dia adalah simbol keberhasilan yang akan membawa nama baik. Genta merupakan bukti nyata keunggulannya sebagai seorang kepala keluarga. Sudah pasti! Anak pertama berjenis kelamin laki-laki selalu menjadi kebanggaan, bukan? Dan Mardiono senang memamerkan fakta tersebut pada teman-temannya.

Bukan hanya itu, Mardiono  juga sangat memuja Genta, cenderung memanjakannya. Apa pun yang menurutnya baik untuk Genta akan ia berikan pada anak itu. Sayangnya yang baik menurut Mardiono, belum tentu baik juga buat Genta. Akan tetapi tetap saja, Genta menjadi pusat dunia Mardiono. Setiap senyuman dan tawa Genta merupakan kebahagiaan baginya, seolah-olah dengan senyum dan tawa itu, semua mimpi dan harapan yang ia tanamkan pada anak itu akan tumbuh dengan sempurna. Tidak ada keraguan mengenai hal tersebut.

Lihat selengkapnya