Kering

D. Andar
Chapter #12

Kenapa Genta Tidak Ingat?

Matahari baru saja naik sepenggalah, sinarnya hangat menerobos celah-celah pohon pisang di depan rumah Muhidi. Genta sedang duduk di teras ketika Aipda Ferry berjalan mendekatinya. Pria itu tidak mengenakan seragam seperti terakhir kali Genta lihat, tapi memakai kaos biru dongker berkerah yang dimasukkan ke dalam celana jin panjang. Sepatu kets putih yang ia kenakan membuat langkahnya tidak terdengar, andai Genta sedang menunduk, dia pasti tidak akan merasakan kehadiran Aipda Ferry.

“Selamat pagi,” sapa Aipda Ferry, melepaskan sepatunya dengan menginjak bagian tumit menggunakan jemari kakinya. Lalu dia berjalan santai menghampiri Genta dan duduk di sampingnya.

“Pagi, Pak,” jawab Genta memperhatikan tamunya. Dia mungkin bisa menebak tujuan kedatangan Aipda Ferry. “Mau ketemu kakek saya?” tanyanya sambil bersiap berdiri.

“Tidak, tidak, saya mau bicara sama kamu, Genta—betul nama kamu Genta, kan?”

Pertanyaan aneh, mereka sudah pernah bertemu dan waktu itu jelas-jelas Genta sudah memperkenalkan diri. Biasanya petugas kepolisian tidak akan melupakan nama saksi mata pada kasus yang sedang ia tangani.

“Betul, Pak, nama saya Genta.”

Aipda Ferry tersenyum. “Baik, Genta, maafkan, saya memang agak pelupa,” ujarnya menyentuh lengan Genta sekilas.

“Bapak mau bicara apa sama saya?”

“Banyak hal.”  Aipda Ferry bersandar pada punggung kursi. “Tapi untuk sekarang, bagaimana kalau kita berbicara tentang masa kecil kamu dulu.” Pandangan Aipda Ferry menerawang lurus ke depan, seolah-olah ada yang berkelebat dalam benaknya.

Genta bergerak-gerak gelisah dalam duduknya, tiba-tiba saja butir-butir keringat dingin muncul di pelipisnya. “Tidak ada yang menarik dengan masa kecil saya, eh,” ucapnya gugup.

“Tidak apa-apa. Saya cuma ingin mendengar cerita masa kecil kamu, kenangan yang paling membekas dalam ingatanmu. Bukankah itu menarik? Maksud saya membicarakan masa kecil. Banyak orang-orang yang suka membicarakan masa kecil walau tidak ada yang menarik dengan masa kecil mereka, tapi justru di situlah menariknya. Membicarakan masa kecil yang tidak menarik.” Aipda Ferry berpaling pada Genta dan memamerkan senyumannya. “Kenangan apa yang paling membekas dalam ingatanmu, Genta?” sambungnya bertanya.

Apa? Ayahnya yang suka menghukumnya? Atau hukuman-hukuman itu sendiri?

Genta menggeleng pelan.

“Saya bukan asli orang sini, tapi saya pernah mendengar tentang kecelakaan yang menewaskan seorang anak kecil 13 tahun lalu di Payonalas. Kamu ingat?”

 Butiran-butiran keringat yang semula muncul di pelipis Genta kini menetes perlahan. Bayang-bayang kenangan masa lalu mencoba muncul ke permukaan. Dia menarik napas dalam, wajahnya mengeras.

“Tidak,” ucapnya dingin, menutup rapat pintu masa lalu yang tidak ingin ia buka lagi.

“Hm, oke. Tadinya saya pikir anak itu temanmu karena kalian seumuran.”

Sekali lagi Genta menggeleng, dia tidak berani menatap langsung Aipda Ferry.

Lihat selengkapnya