Saat membuka mata, yang pertama kali Genta lihat adalah rangkaian rangken di atasnya. Suara mendeham di sampingnya membuat ia berpaling. Muhidi duduk di kursi yang sengaja diletakkan di dekat tempat tidur Genta, menatap Genta dengan pandangan yang sulit diartikan.
“Pak Ferry ke mana, Mbah?” tanya Genta pelan.
“Sudah pergi. Kamu enggak enak badan, Gen?”
Genta menyentuh pelipisnya, sekarang dia merasa baik-baik saja. Tapi tadi, kepalanya seperti mau pecah.
“Mungkin sedikit masuk angin, Mbah. Tapi sekarang aku baik-baik aja.”
Muhidi mengambil segelas teh hangat dari meja di samping tempat tidur Genta. “Ini, diminum dulu tehnya,” katanya menyodorkan gelas tersebut pada cucunya.
Genta mengangkat tubuh bagian atasnya dengan menopangkan kedua siku, kemudian beringsut ke belakang sehingga bisa duduk bersandar pada kepala ranjang, lalu dia meraih gelas dari tangan Muhidi dan menyeruput isinya perlahan.
“Mbah ingat kejadian anak kecil yang tenggelam di Payonalas? Katanya 13 tahun yang lalu,” tanya Genta sambil meletakkan kembali gelas ke atas meja.
“Mbah lupa-lupa ingat. Itu udah lama sekali.” Muhidi menjawab tanpa melihat Genta, dia sibuk membetulkan letak gelas Genta yang terlalu ke pinggir.
“Apa kejadiannya di sungai yang ada di hutan karet ya, Mbah?” tanya Genta lagi ragu-ragu. Semasa kecil Genta sering mengunjungi sungai itu, rasanya aneh jika di sana pernah ada kecelakaan yang sampai menewaskan seseorang, tapi Genta tidak mengingatnya.
Gelas yang sedang dibetulkan Muhidi terjatuh dan pecah, suaranya menggema di ruangan yang sunyi. Muhidi menghela napas panjang, lalu membungkuk untuk memunguti pecahan kaca yang berserakan di lantai. Genta bersiap turun, berniat membantu kakeknya.
“Biar Mbah urus, Gen. Kamu di situ aja,” larang Muhidi membuat Genta urung menurunkan kakinya.
Muhidi keluar dari kamar Genta, tak berapa lama dia kembali sambil membawa sapu dan cikrak. Tanpa suara, ia menyapu sisa pecahan beling ke dalam cikrak dan membawanya keluar. Pertanyaan Genta pun terlupakan.
***
Sudah ke sekian kalinya Genta mengunjungi Sumiah, tapi lagi-lagi wanita yang telah melahirkannya itu sama sekali tidak mau menemui dia. Selama persidangan belum dilakukan, para tersangka masih ditahan di kepolisian setempat, jadi mungkin Genta masih memiliki waktu untuk terus mencoba.
“Ibumu enggak mau ketemu kamu lagi, Tong?”
Mardiono mungkin tidak tahu harus memulai percakapan dari mana sehingga melontarkan pertanyaan tersebut. Sudah hampir 15 menit Genta duduk di depannya tanpa bicara sepatah kata pun.
“Kenapa Bapak lebih sering memanggilku Gentong? Oh, aku tahu, karena dulu aku bulat seperti gentong,” ucap Genta datar. Pertanyaan ayahnya tidak membutuhkan jawaban.