“Aku berhasil mendapatkan foto anak yang tenggelam itu,” kata Ferry, senyum kemenangan terukir di bibirnya. “Mungkin kamu bakal ingat kalau melihat fotonya.”
Foto yang berada di depan Genta diletakkan terbalik. Dia menatap bagian putihnya dengan pandangan enggan, tidak ada rasa penasaran yang mengikat hatinya. Hanya jantungnya yang berdetak cepat, berpacu kencang seperti habis berlari. Keringat dingin membasahi punggung, meresap melalui kausnya.
“Bukalah,” perintah Ferry santai. Namun terdengar seperti paksaan bagi Genta.
Tangan Genta terulur menyentuh tepi foto, ia ragu sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam dan membaliknya. Seakan-akan ada yang menyodok ulu hatinya, rasa mual menyerangnya dengan hebat. Wajah tersenyum anak kecil dalam foto tampak seperti sedang mengejeknya. Sedangkan sorot mata anak itu seolah menantangnya, melontarkan kalimat yang tidak bisa terucap dari bibirnya, sekarang kamu ingat, heh?!
Genta menatap Ferry dan foto di depannya secara bergantian. Keningnya berkerut.
“Nah, ya, aku juga berpikir sama sepertimu,” ujar Ferry dengan penuh keyakinan. “Aku sudah lihat foto masa kecilmu dan anak itu memang mirip sekali denganmu waktu kecil, kan?”
Genta menelan ludah, pikirannya bercampur aduk. Ada semacam kesalahpahaman yang membuat otaknya kacau dan bingung.
“Apa kamu ingat pernah melihat anak itu?” tanya Ferry penuh harap.
Ya, pernah. Baru-baru ini.
Akan tetapi Genta hanya menjawab dalam hati. Tidak mungkin ia mengakui pada Ferry bahwa anak di foto itu adalah sosok yang terus menghantuinya belakangan ini. Kalau bukan karena foto itu, Genta masih akan mengira makhluk yang menghantui dirinya adalah bayangan masa kecilnya sendiri. Seperti kata Ferry, anak dalam foto itu memang mirip sekali dengannya sewaktu kecil.
Sambil menahan napas, Genta merasakan sesuatu yang aneh mengendap di dadanya—sebuah kebenaran yang sulit diterima.
“Genta.”
Suara Aipda Ferry terdengar jauh, seperti terbungkus kabut tebal.