Setelah beberapa hari cuaca terasa kering, hari ini langit kembali gelap dengan udara yang terasa sedikit menggigit. Pada awalnya tetesan air dari langit hanya berupa rintik-rintik, kemudian dalam sekejap berubah menjadi hujan lebat, memenuhi jalan-jalan kampung dengan genangan air yang mengalir deras dari selokan-selokan yang tersumbat. Di halaman rumah Muhidi, air mulai menutupi akar-akar pohon dan memercik setiap kali angin bertiup kencang. Udara dingin yang lembab menyelinap melalui pintu dan celah-celah jendela, menghadirkan suasana muram pada pagi itu.
Genta duduk di ruang tamu, termenung menatap derasnya hujan yang menghantam jendela. Percikannya membentuk titik-titik air pada permukaan kaca, yang kemudian secara perlahan mengalir ke bawah, menciptakan garis-garis memanjang yang tidak beraturan.
Rumah terasa begitu kosong, hanya terdengar bunyi atap yang tertimpa derasnya hujan, diiringi suara angin dan daun-daun yang berdesau. Muhidi sudah pergi ke sawah sejak pagi, sebelum hujan mulai mengguyur. Sementara Purwa dan Irma keluar untuk belanja, meninggalkan Genta sendirian di tengah kesunyian, ditemani bayang-bayang suram di sudut-sudut ruang yang sepi.
Genta terkesiap saat sekelebat bayangan tertangkap sudut matanya. Punggungnya langsung menegak, perlahan dia menoleh ke samping—tidak ada siapa-siapa. Namun, sebelum dia merasa lega, bayangan lain melintas dari arah berlawanan. Refleks dia kembali menoleh, lagi-lagi tak ada siapa-siapa. Suasana mendadak terasa mencekam, kengerian merayapi Genta, rasa dingin menjalar meresap sampai ke tulang hingga tubuhnya seakan membeku. Tiba-tiba dia mendengar seseorang memanggilnya tepat dari atasnya.
“Mas Genta....”
Keringat dingin muncul di sepanjang pelipis Genta, dia tidak berani mendongak. Genta merasa udara di sekitarnya menipis, yang membuat napasnya jadi tersendat.
“Mas...,” bisik suara itu lagi.
Mata Genta terpejam rapat, dia mengenali suara itu. Bayangan mayat yang sudah mengering, bergelantungan di rangken terlintas di benaknya, membuat nyalinya menciut. Dia menunduk, meletakkan kening di atas kedua tangannya yang menyatu, sementara sikunya bertumpu pada lutut. Jantungnya berdebar kencang.
Suara-suara lain kini ikut berdatangan—bunyi langkah kaki yang berat, batuk parau, dan desahan tersengal seperti orang yang kesulitan bernapas. Anak itu ... dia ada di sini juga!
“Kenapa kalian menggangguku? Tolong ... jangan ganggu aku ... jangan ganggu aku....” Genta berbisik berulang-ulang seperti sedang merapal mantra. Matanya masih tertutup, kakinya bergerak-gerak gelisah.
Saat kilat menyambar yang disusul dengan gelegar bunyi petir, suara-suara makhluk itu menghilang. Genta menahan napas, menunggu dalam kecemasan. Sedetik ... dua detik ... sampai beberapa menit kemudian. Ketika dia merasa yakin makhluk-makhluk itu sudah pergi, matanya perlahan terbuka. Pada waktu yang sama, kilat kembali menyambar disertai bunyi guntur yang memekakkan telinga.
Jantung Genta hampir copot saat matanya tertumbuk pada sosok gelap, berdiri di ambang pintu depan rumah kakeknya yang terbuka. Sontak dia merapatkan punggungnya ke sandaran kursi, kaku. Otaknya membeku, tak sanggup memerintahkan tubuhnya untuk bergerak atau lari. Pandangannya terfokus pada sosok itu, yang kini menggapai ke arahnya.
“Hah, hujannya deras sekali.” Ferry melepas mantelnya yang basah, air menetes-netes membasahi lantai. Dia menyeringai begitu melihat Genta. “Halo, Genta. Maaf, aku membasahi lantai rumah kakekmu.”
Keringat menetes dari ujung alis Genta. Debar pada jantungnya memang mereda, tapi dia tidak tahu apa harus merasa lega atau justru cemas. Genta tersenyum kecut, dengan enggan berdiri dari duduknya dan menghampiri Aipda Ferry, membantunya menggantungkan mantel di kaitan yang ada di teras.
“Maaf mengganggu, sepertinya kamu sedang bersantai, yang lain ke mana?” celoteh Ferry saat masuk dan kemudian duduk di kursi kayu jati tua tanpa menunggu dipersilakan.
“Mbah dan—”
Ferry menghentikan kata-kata Genta dengan mengangkat sebelah tangannya.
“Aku tahu, mereka pergi. Tidak apa-apa, aku ingin bicara denganmu,” ujarnya langsung.
Tarikan napas berat lolos dari bibir Genta. “Apa ini tentang anak yang tenggelam itu lagi?” tanyanya tegang.
Ferry melirik Genta. “Maaf, aku tahu ini bukan hal yang mudah, tapi kita harus melakukannya.”
Genta menunduk, jari jemarinya saling meremas satu sama lain. “Sebenarnya apa hubungan antara kematian anak itu dengan kasus ayahku, Pak?”