Langkah Genta tergesa menelusuri lorong kantor kepolisian. Dia baru saja mendapat kabar dari Aipda Ferry, Sumiah bersedia bertemu dengannya.
“Ada kabar baik,” kata Ferry waktu datang menemui Genta. “Ibumu mau bertemu denganmu.”
Genta menatap Ferry tak percaya. “Dan apa kalian akan mengizinkan aku menemui ibuku?” tanyanya.
“Ya, kenapa tidak?”
“Aku tidak berhasil membujuk ayahku agar mau bicara dengan kalian.”
Ferry menarik napas panjang. “Sepertinya memang sulit membuat ayahmu bicara pada kami. Mungkin jika kami membiarkan kamu bicara dengan ibumu, kami bisa mendapatkan sesuatu,” ujarnya setengah berpikir, “sepertinya ibumu tahu sesuatu yang tidak mau ia katakan pada kami,” sambungnya bergumam, hingga jika Genta tidak mendengarkan dengan seksama, dia tidak akan menangkap kata-kata Ferry.
Ibunya tahu sesuatu? Apa itu? Rasa penasaran menggerogoti Genta. Dia pikir kasus kematian Ayana sudah jelas. Penyebab kematian sudah diketahui dan pelakunya sudah ditangkap. Namun, sepertinya polisi berpikir lain, karena sampai sekarang sidang belum juga dilaksanakan dan mereka justru masih mengulik kasus tersebut.
Jadi, di sinilah Genta sekarang, berjalan menuju sel tempat ibunya bermalam selama beberapa waktu. Sumiah tidak bersedia meninggalkan sel, jadi Genta yang mendatanginya, ditemani dua orang petugas polisi yang bersenjata. Kenapa harus dua orang? Genta tidak tahu, seolah-olah dia manusia yang berbahaya saja.
Langkah Genta terhenti begitu sampai di depan sel Sumiah. Sel itu gelap dan lembab, hanya ada kasur tipis yang tergeletak di sudut. Dari balik jeruji, Genta melihat Sumiah duduk di atasnya, bersandar pada dinding yang penuh dengan coretan. Wanita itu terlihat lebih kurus daripada saat terakhir kali Genta melihatnya. Tulang pipinya menonjol dan rambutnya kusut. Mata Sumiah menatap lurus ke depan, seakan-akan kehadiran Genta tak membuat perbedaan. Pandangan Sumiah kosong dan dingin, tak lagi hangat seperti dulu. Genta merasakan dorongan kuat dalam dadanya, campuran antara rasa iba dan ketakutan. Ibunya kini terlihat rapuh ... dan menyedihkan.
“Bu,” panggil Genta serak.
Sumiah mengalihkan pandangannya perlahan, kini matanya tertuju pada Genta. Genta mengira ibunya akan senang saat melihatnya. Namun, yang membuat ia terkejut, ekspresi Sumiah tetap datar. Tidak ada kehangatan, apa lagi air mata kerinduan.
Selama beberapa detik, mereka hanya saling menatap, hening di antara mereka terasa mencekik.
“Ibu apa kabar?” tanya Genta, suara yang keluar dari tenggorokannya terdengar lebih pelan daripada yang ia rencanakan.