Kabar buruk itu datang bagai badai, seolah-olah dilemparkan langsung oleh angin kencang ke muka Genta, beserta percikan air dari awan yang terbawa.
Pagi itu, Genta terbangun dengan hati yang kusut. Pertemuan dengan ibunya kemarin masih membuatnya masygul. Matahari baru saja muncul, tapi sinarnya tak sanggup menembus kabut tipis yang mengapung di sekitar rumah. Biasanya, burung ramai berkicau di pagi hari, melompat dari dahan pohon yang satu ke dahan pohon lainnya. Namun, kali ini ada yang terasa ganjil mengambang di udara. Suasana hening yang aneh menyelimuti rumah dan membuat Genta gelisah. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, nanar menatap ke luar jendela, tidak tahu apa yang harus dilakukannya, seolah-olah dia dituntut untuk menunggu sesuatu yang niskala.
Langkah-langkah seseorang terdengar di dapur, Genta menduga itu kakeknya. Di rumah ini, hanya Muhidi yang bangun lebih awal dari siapa pun. Genta mengangkat tubuhnya dengan malas, menggosok wajahnya dengan kedua tangan, lalu terseok menuju ke dapur.
Muhidi sedang berdiri membelakangi Genta, mengaduk teh dalam gelas kaleng motif blirik yang sudah usang. Suara sendok yang beradu dengan pinggiran gelas mendenting di udara.
“Bangunnya pagi sekali, Mbah,” kata Genta, menahan kuap dengan tangannya.
“Namanya orang tua, ya seperti ini,” sahut Muhidi sambil berbalik. “Mau teh?” tawarnya mengangkat gelasnya ke arah Genta.
“Mau mandi dulu, Mbah. Enggak tahu kenapa badan rasanya lesu, mungkin kalo mandi bisa segar.” Genta berucap pelan sambil meregangkan tubuhnya, lalu beranjak ke kamar mandi.
Kabar buruk itu datang kemudian, tak lama dari setelah Genta mandi. Dia belum selesai memakai baju ketika pintu kamarnya diketuk dari luar.
“Ada Pak Ferry mau ketemu kamu,” beri tahu Muhidi hati-hati. Dia sendiri terlihat aneh dengan matanya yang memerah.
Jantung Genta berdegup keras untuk alasan yang tidak ia mengerti. Dia buru-buru mengancingkan kemejanya dan bergegas keluar, mengabaikan rambutnya yang belum sempat disisir.
Ferry berdiri menghadap halaman, tangannya disilangkan di belakang punggung. Dia tidak menyadari kehadiran Genta sampai pemuda itu memanggilnya.
“Pak Ferry.”
Ferry berbalik. Wajahnya tampak tegang, kerutan pada keningnya refleks terbentuk begitu melihat Genta, seolah-olah dia sedang memikirkan sesuatu. Melihat sikap Ferry, perasaan Genta langsung tidak enak. Ferry orang yang santai, dia selalu terlihat riang meski kadang sikapnya menyebalkan. Jika ekspresinya sampai menunjukkan ketegangan, pasti ada yang tidak beres yang sangat serius sedang terjadi.