Permasalahan sebenarnya bukan berasal dari dia. Setidaknya, itulah yang ingin Genta percaya. Sekarang dia banyak berdiam diri, duduk dalam sepi di kamarnya, mengorek kenangan demi kenangan yang tersimpan secara acak dalam kepalanya, berusaha membuktikan dirinya tidak harus menanggung perasaan bersalah atas apa yang telah terjadi. Ibunya memilih untuk mengakhiri hidup, itu bukan tanggung jawab Genta. Namun, meski berkali-kali dia meyakinkan diri, rasa bersalah itu tetap menghantuinya.
Satu hal yang tidak bisa Genta lupakan, ibunya memutuskan mengakhiri hidup setelah bertemu dengannya. Percakapan terakhir mereka juga ganjil, Sumiah seolah-olah tidak memandang Genta sebagaimana Genta. Cara wanita itu berbicara, seperti tidak sedang berbicara dengan Genta. Lalu, tuduhan yang Sumiah lontarkan padanya. Ibunya itu menyuruh dia bicara, tapi tidak menjelaskan apa yang harus ia katakan. Ibunya bilang, dia belum menceritakan semuanya pada Aipda Ferry, seakan-akan Genta sengaja bungkam dan menutup-nutupi sesuatu. Faktanya dia sendiri bingung dengan apa yang dimaksud Sumiah. Tuhan tahu dia berusaha keras mengingat kejadian demi kejadian yang bisa saja ia lupakan, terutama yang mungkin berhubungan dengan Ayana, Pak Harso dan asistennya, atau ayahnya. Akan tetapi, meski sudah memeras otak sedemikian rupa, dia tidak menemukan apa-apa.
Perasaan Genta pada ayahnya merupakan gabungan antara benci dan sayang, tapi kepada ibunya, tidak ada rasa benci sedikit pun. Dia menyayangi Sumiah sepenuh hati. Sumiah adalah ibunya. Banyak hal baik yang ditinggalkan wanita itu dalam kenangannya, meski tak sedikit juga rasa kecewa Genta terhadapnya, terutama dalam ketidakmampuan Sumiah melindunginya dari kekerasan Mardiono. Namun, Genta sama sekali tidak menyalahkan Sumiah. Ibunya itu hanya korban dari pola asuh yang kental dengan budaya patriarki. Ajaran untuk selalu menurut pada suami sudah tertanam dalam dirinya, menjadi sangkar bagi jiwanya yang juga terpasung.
Malam ini Genta sendirian di rumah. Muhidi, Purwa, dan Irma sedang mengurus jenazah Sumiah, mereka akan menguburkan Sumiah di Payonalas, berdampingan dengan kuburan Ayana. Genta sendiri belum melihat Sumiah, mungkin dia tidak akan melihatnya. Menyaksikan sendiri mayat Ayana yang mengering sudah terlalu menghantui pikirannya, tak perlu ia menambahkan gambaran mayat ibunya dalam ingatannya.
Genta menghela napas lelah, dia mengusap dadanya, mencoba meredakan rasa sakit yang menyebar pada jantungnya. Satu per satu orang yang Genta cintai pergi dengan cara yang tak pernah ia bayangkan, mengenaskan, seakan-akan ada kutukan yang membayangi keluarganya. Apakah dia akan mati dengan cara yang mengenaskan juga?
Pemikiran tersebut membuat dada Genta bergemuruh, terutama di malam yang begitu hening seperti sekarang. Di atas tempat tidurnya, dia berbaring gelisah, berguling ke kiri lalu ke kanan dalam upaya sia-sia untuk menemukan posisi yang nyaman. Desiran angin dingin menyelinap dari sela-sela jendela, menusuk kulitnya dan membuatnya merinding. Genta meringkuk, menarik lututnya sampai menempel ke dada dan menyelimuti tubuhnya lebih rapat. Dia memejamkan mata, berharap kantuk cepat menyerang. Namun, hawa dingin yang aneh terasa menyelusup sampai ke tulang, seolah-olah ada aliran udara besar yang berputar-putar di kamarnya. Mungkin ada jendela yang belum tertutup rapat.