Seperti orang kampung pada umumnya, cara berpikir Mardiono sangatlah sederhana. Dalam benaknya, dunia dipisahkan dengan jelas antara hitam dan putih, benar dan salah, tanpa banyak ruang untuk abu-abu. Cara penyelesaian masalah Mardiono langsung dan praktis, baginya, solusi sederhana meski terburu-buru selalu lebih baik daripada memusingkan diri dengan hal-hal yang rumit.
Dalam kesehariannya, ia lebih memilih menjalani hidup mengikuti tradisi yang diwariskan. Kehidupan di kampung adalah soal menjaga kehormatan keluarga, mengikuti aturan tak tertulis, dan menyelesaikan setiap masalah yang muncul dengan cara yang sudah teruji waktu. Menurut Mardiono, mematuhi apa yang telah menjadi kebiasaan adalah bentuk terbaik dari kebijaksanaan. Prinsip-prinsip itu seperti jangkar untuknya, sebuah keyakinan yang tak tergoyahkan. Mencoba mengubah atau mempertanyakan nilai-nilai itu adalah sesuatu yang tak terpikirkan olehnya.
Kesederhanaan Mardiono memiliki keterbatasan yang tak selalu ia sadari. Saat dihadapkan pada sesuatu yang asing dan berbeda, instingnya adalah menolak atau menghindarinya. Pikiran yang sempit membuatnya menjadi orang yang malas berpikir terlalu panjang, karena dia menyukai hidup tanpa beban yang berlebihan.
Akhir-akhir ini Mardiono dipusingkan oleh tingkah Ayana. Anak itu jadi sering melamun, merajuk tanpa alasan jelas, dan berbicara dengan nada keras. Awalnya Mardiono hanya mengabaikan saja, hingga suatu sore Ayana menghampirinya dengan tampang merajuk.
“Bapaaak ... aku belikan tablet kayak punya Intan,” katanya dengan nada membujuk.
“Tablet, tablet! Buat apa? Nanti kamu jadi malas!” Mardiono yang baru pulang kerja mendengkus. Dia baru saja duduk dan sudah dibikin pusing dengan permintaan putrinya.
Ayana langsung cemberut.
“Sekolah yang benar, jangan main terus,” nasihat Mardiono sambil mengipas-ngipas tubuhnya yang telanjang dada dengan kertas. “Pulang sekolah bantu ibumu, Bapak dulu dari kecil sudah pintar cari duit, enggak kayak anak zaman sekarang, tahunya cuma minta sama main—hey, Bapak belum selesai ngomong!” Betapa kesalnya ia ketika melihat Ayana mengeloyor meninggalkan ruangan.
Namun, Ayana tak peduli, dia tetap pergi sambil mengentakkan kaki, mengabaikan omelan ayahnya. Mardiono hanya bisa menggerutu menyalahkan teknologi yang menurutnya membuat anak-anak semakin kurang ajar dan sulit diatur.
Hari demi hari, Mardiono semakin sering memergoki Ayana melamun, sesuatu yang membuatnya merasa jengkel.
“Jangan di rumah aja, keluar main sana!” serunya ketika kesabarannya sudah habis.
“Bapak juga jangan di rumah aja, kerja cari duit biar bisa buat beli tablet,” balas Ayana walau hanya berani dengan suara pelan.
Namun, Mardiono bisa mendengarnya, matanya terbeliak, wajahnya seketika merah padam.
Melihat tanda-tanda bahaya, Ayana buru-buru berlari keluar.
“Hey! Anak nakal, jangan pergi!”
Ayana yang gerakannya gesit sudah lebih dulu menghilang sebelum Mardiono mengejarnya. Dia berlari menyelinap di antara pepohonan singkong, menuju pohon mangga di dekat sumur dan duduk di bawahnya.
“Bapak nih aneh, kalau aku lagi main, disuruh pulang, enggak boleh main terus. Tapi kalau lagi di rumah disuruh keluar, haduuuh!” Ayana bersungut-sungut sebal, sambil mencabuti rumput di bawahnya.
Dari dapur, Sumiah yang hendak menuju sumur berhenti saat melihat putrinya mengomel sendiri dengan bibir mengerucut, dia segera menghampiri.
“Kamu kenapa, Ndok?” tanyamya duduk di samping Ayana, mengamati raut muka anaknya yang kusut. “Dimarahi Bapak, ya?”
Ayana menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan. “Bapak enggak mau belikan tablet, Bu,” jawabnya lirih.