Malam terasa begitu kelam, suara angin yang mendesau di sekitar rumah Mardiono meninggalkan kesan dingin yang menusuk tulang. Langit tampak hampir hitam sempurna, tanpa bintang dan bulan yang menggantung di angkasa. Bunyi lonceng berdentang dua kali di kejauhan, pertanda tengah malam telah tiba. Atmosfer terasa pekat oleh hawa yang tidak mengenakkan, menimbulkan perasaan gelisah pada empat manusia yang berkumpul di dapur rumah Mardiono. Suasana di dalam rumah sama suramnya dengan kondisi di luar.
Mardiono dan Harso saling bertukar pandang. Mereka sepakat rukiah akan dilakukan saat ini juga Semakin cepat, semakin baik. Sementara itu, Sumiah berdiri gelisah di antara mereka. Tatapannya tidak lepas dari suaminya, hatinya terbelah antara percaya dan rasa cemas yang tak tertahankan. Percaya semua—Ayana—akan baik-baik saja. Cemas karena kekhawatiran yang menggerogoti dengan cara yang menyiksa. Rasanya, ingin sekali ia berteriak dan mengguncangkan tubuh Mardiono, agar lelaki itu sadar kesalahan yang sudah mereka buat. Namun, dia tak memiliki keberanian sebesar itu.
Pandangan Sumiah beralih pada Bagus, asisten Pak Harso yang sedang menyiapkan perlengkapan ritual.
“Kita akan merukiah Ayana di sungai,” kata Harso memecah keheningan.
“Sungai? Sungai mana?” Suara Sumiah bergetar, tatapannya beralih dari Harso ke Mardiono, meminta penjelasan.
“Sungai di hutan karet,” sahut Mardiono setelah sebelumnya berdeham.
“Enggak!” pekik Sumiah tiba-tiba. “Enggak boleh!”
“Aturannya memang harus seperti itu,” geram Mardiono menatap gusar ke arah istrinya.
Sumiah berpaling pada Mardiono, membalas tatapan suaminya dengan sorot mata menantang. “Aku bilang enggak boleh!” serunya. Teriakan pertama yang berani ia tujukan pada suaminya.
Mardiono benar-benar tidak percaya istrinya berani menentangnya. Dia begitu berang hingga wajahnya merah padam. Langkahnya lebar saat menghampiri Sumiah, meraih lengan wanita itu dan mencengkeramnya kuat-kuat.
“Dengar, Ayana akan dirukiah di sungai,” desisnya mengintimidasi.
Namun, entah kekuatan dari mana, Sumiah menepis tangan Mardiono. “Kalian bawa Ayana ke sungai, aku akan berteriak minta tolong,” semburnya emosi.
Harso merasakan tanda bahaya, dia tidak mau orang-orang berdatangan dan memergoki mereka.
“Sudah, sudah, jangan ribut-ribut, kita bisa bicarakan baik-baik,” bujuknya sambil berdiri dan menghampiri Mardiono, membimbingnya agar kembali duduk. “Kita bisa merukiah Ayana di rumah, enggak harus ke sungai,” sambungnya menenangkan kliennya.
“Benar bisa di rumah aja, Pak?” Mardiono terlihat tidak yakin.
“Bisa,” angguk Harso, “yang penting ada air. Kita pakai bak di kamar mandi saja,” lanjutnya memandang Sumiah.
Ragu-ragu, Sumiah mengangguk. Bak kamar mandi terdengar lebih baik, airnya tidak banyak dan tidak ada arus yang mampu menyeret putrinya.
“Tenang saja, ini semua demi kebaikan Ayana,” ucap Harso meyakinkan. “Ayana itu keturunan genderuwo, mungkin proses rukiahnya akan memakan waktu lama.”
Sumiah mengernyit. “Keturunan genderuwo? Keturunan apa kerasukan?” cecarnya tajam.
“Ya, maksudnya itu,” gumam Harso.
Sumiah yang merasa tidak puas, hampir membantah lagi, tapi Harso buru-buru mengangkat tangannya.
“Rukiah akan dimulai. Siapin bunganya, Gus,” perintahnya pada sang asisten.