Kering

D. Andar
Chapter #22

Jeritan Teredam dari Kegelapan Air

Kegelapan menyelimuti ruangan lembab yang sempit dan berbau tak sedap. Suara angin mendesir tipis melalui celah kecil di bagian atas dinding yang kusam dan kotor, memberikan napas pengap pada sel-sel besi yang berkarat. Genta terbangun dengan tiba-tiba, dan dalam sekejap, kebingungan menyergapnya. Pandangannya kabur, matanya menyipit saat menyesuaikan diri dengan cahaya minim yang merembes dari koridor di luar jeruji.

Ia memandang sekeliling , bingung, sel ini sama sekali asing. Udara dingin bercampur bau pesing menusuk hidungnya, menciptakan ketidaknyamanan yang ingin membuatnya muntah. Ia menyentuh dinding kasar di sebelahnya, seolah berharap itu hanya khayalan semata. Namun, yang didapatnya adalah sensasi keras dan dingin dari tembok beton nyata yang membatasi kebebasannya.

Genta mengernyit, nanar menghantam kepalanya, menyadari keberadaannya ada di mana. Penjara. Dia berada di penjara! Kenapa dia berada di penjara? Dia bergegas bangkit, melangkah lebar mendekati jeruji besi dan mencengkeramnya.

“Tolong!” teriaknya.

Genta menguatkan cengkeramannya pada jeruji besi, suaranya parau bergetar ketika kembali berteriak, “Tolong! Siapa saja tolong keluarkan aku dari sini!”

Namun, teriakan itu hanya menggema dalam kesunyian sel. Dinding-dinding memantulkan suaranya, membuat gaung yang terdengar tidak menyenangkan di telinga Genta. Bunyi dengung lembut dari kejauhan terdengar samar, mungkin dari mesin-mesin komputer yang masih menyala. Suaranya seperti bisikan-bisikan dari makhluk tak kasat mata yang menyelinap melalui koridor panjang di depan Genta. Ketakutan yang mencekal membuatnya kembali meminta tolong.

Langkah kaki berat mulai terdengar mendekat dari ujung lorong, suara sepatunya menggema, terdengar jelas dan menekan. Genta terdiam, jantungnya yang berdetak kencang. Dari balik kegelapan, seorang pria muncul dengan tatapan tajam dan wajah tanpa ekspresi. Tubuhnya kekar dengan seragam yang melekat erat, menciptakan kesan mengintimidasi.

“Ada apa?” Suara pria itu serak dan rendah, bernada mengancam. Dia berhenti tepat di depan sel, menatap Genta dalam.

Genta menelan ludah. “Kenapa aku di sini?” tanyanya parau. “Apa salahku?”

Pria itu mendengkus pelan, lalu sorot matanya berubah bosan. “Tidur saja! Masih malam. Tidak ada gunanya kamu membuat keributan sekarang,” ujarnya dingin. Kemudian berbalik dan pergi.

“Tunggu! Jangan pergi! Tolong panggilkan Aipda Ferry Rustam.”

Pria berseragam itu hanya terkekeh, kemudian perlahan menghilang di ujung koridor, meninggalkan Genta yang berdiri sendiri dalam kegelapan.

“Tunggu, jangan pergi!” Genta mengguncang jeruji dengan putus asa, Samapi dia merasa lelah dan berhenti.

Hening. Hanya terdengar dengungan lembut yang konstan dari ujung lorong. Dalam kesunyian seperti ini, suasana menjadi mencekam. Kesendirian Genta terasa begitu nyata, ditemani bayang-bayang kelam dan ketakutan yang menggerogoti pikirannya.

Genta kembali ke tempat tidurnya yang hanya berupa ranjang reot dan selembar kasur tipis. Dia berbaring dalam kegelapan, meringkuk, memeluk dirinya sendiri. Entah apakah dia tertidur atau hanya melamun, saat otaknya kembali bekerja, Aipda Ferry sudah berdiri di samping ranjangnya.

“P-Pak,” sapanya tergagap, langsung bangkit terduduk. Dia merasa harapannya timbul, Aipda Ferry pasti bisa menjelaskan semuanya.

“Selamat pagi, Genta,” balas Ferry datar, tidak seramah biasanya. “Sudah bisa mengingat sesuatu?” sambungnya bertanya.

Kedua alis Genta bertaut, ditatapnya Aipda Ferry bingung.

“Baiklah, sepertinya belum ada yang kamu ingat,” kata Ferry berbalik, bersiap meninggalkan tempat itu.

“Pak Ferry, tunggu! Tolong jelaskan apa yang terjadi?”

Ferry urung pergi, dia menarik sebuah kursi dari sudut ruangan dan meletakkannya di dekat tempat tidur Genta.

“Kamu mau kita bicara di sini lagi?”

Genta diam sejenak, kemudian mengangguk ragu. Dia tidak ingat kapan bicara dengan pria itu di sini.

“Oke, tapi aku enggak akan puas sebelum kamu berhasil mengingat meskipun cuma sedikit.”

Ferry duduk di atas kursi, berhadap-hadapan dengan Genta yang duduk di tepi ranjangnya.

“Mari kita mulai ke kejadian 13 tahun yang lalu?”

Lihat selengkapnya