Genta ingin segera mengakhiri percakapan ini, dia merasa lelah. Jiwanya seolah tenggelam dalam kubangan memori yang membuatnya tersiksa. Sebuah ingatan mengerikan muncul di kepalanya, dan perasaan takut memblokir kenangan itu hingga dia tak bisa mengingat lagi. Dia ingin berhenti, dia ingin merebahkan tubuhnya di atas kasur tipis yang sebelumnya terlihat tak mengundang, tapi sekarang tampak begitu nyaman. Namun, Ferry bersikeras melanjutkan.
“Kita sudah sejauh ini, Genta, kamu hanya perlu berusaha sedikit lagi,” pintanya dengan nada membujuk—sesuatu yang tidak ia lakukan sedari tadi.
Genta duduk dengan punggung membungkuk, bahunya merosot, tak berdaya menghadapi beban yang seolah menggelayuti. Di depannya, Ferry masih duduk dengan tegak, ia bahkan tidak menempel pada sandaran kursi. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Tatapannya mungkin melunak, tapi masih penuh tekad.
Hati Genta tak pernah tenang, jantungnya terus bekerja lebih keras, hingga terasa menyesakkan. Bernapas seakan-akan membutuhkan usaha keras, seolah-olah udara di sekitarnya berubah menjadi padat. Pandangan Genta lesu, terarah pada Ferry.
“Aku tidak bisa mengingat lagi, kepalaku sakit,” keluh Genta.
“Itu karena kamu ketakutan. Rasa takutmu melarang kamu mengingat lebih jauh.”
“Apa sebenarnya yang aku takutkan?”
“Kebenaran.”
Sekelam apa kebenaran itu hingga menjadikan ia seperti ini?
“Ada sesuatu yang menggangguku,” gumam Genta. “Apa aku boleh bertanya?”
“Tanyalah.”
“Sejak kapan aku berada di penjara ini? Kenapa aku tidak ingat?”
Ferry tersenyum tipis. “Aku tidak perlu menjawab. Kamu akan tahu sendiri begitu berhasil mengingat semuanya.”
Genta menghela napas kasar. Dia sungguh-sungguh lelah. Dia tidak suka situasi ini.
“Bagaimana caranya agar aku bisa mengingat semuanya?” tanyanya pasrah.
“Lawan rasa takutmu. Kamu harus berani menghadapi apa pun yang nantinya muncul dalam ingatanmu.”
Aipda Ferry tidak lagi terlihat dingin, dan entah bagaimana itu membuat Genta tenang. Dia merasa sedang berbicara dengan seorang teman, dan bukannya petugas kepolisian yang berusaha mengorek keterangan darinya dengan cara yang mengintimidasi.
Teman....
Omong-omong soal teman, Genta tidak ingat pernah memiliki banyak teman sewaktu kecil. Hanya segelintir yang mau bermain dengannya. Apakah anak yang mati tenggelam itu salah satunya?
“Anak yang tenggelam itu ... apa dia temanku?” tanya Genta lirih.
“Dia menyayangimu, tulus dan sepenuh hati.”
“Dia sangat mirip dengan aku waktu kecil. Gemuk. Terlalu gemuk....”