Kering

D. Andar
Chapter #24

Menyelam dalam Kegelapan

Genta terbangun dalam keadaan bingung. Rasa berat dan pegal di sekujur tubuhnya terasa membelenggu. Hal pertama yang ia lihat saat membuka mata adalah langit-langit putih kotor dengan beberapa noda coklat bekas kebocoran air. Matanya menelusuri ruangan yang suram. Lalu, kesadaran yang menakutkan itu perlahan mendekat—dia berada di penjara.

Ingatan lain yang lebih kejam menghantam Genta, menyusup ke dalam pikirannya tanpa ampun. Dia mengernyit, merasakan sesak yang nyeri menusuk ulu hati. Dengan susah payah dia bangkit dan duduk, bahunya lunglai. Pandangannya kosong, menerawang seakan-akan menembus dinding di hadapannya. Kenangan yang selama ini tersimpan rapat dalam memorinya telah terkuak, seperti pintu yang terbuka lebar.

Genta sekarang tahu alasannya berada di sini, di penjara yang dingin dan suram. Karena dia seorang pembunuh, sama seperti ayahnya.

Genta menelan ludah. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.

Gerendel pintu penjara terbuka. Genta menoleh, melihat Ferry berdiri di sana.

“Mau jalan-jalan sebentar?” tanyanya.

Genta menatapnya ragu.

“Tidak apa-apa, aku sudah meminta izin,” katanya sambil berjalan masuk. “Kamu harus keluar, cuacanya cerah,” ucapnya lagi, memakaikan borgol ke tangan Genta. “Maaf, aku tahu kamu tidak akan berbuat gila. Hanya formalitas,” sambungnya sambil menepuk-nepuk punggung tangan Genta.

Genta tersenyum kecut. Aipda Ferry pasti sedang menyindirnya, bukankah dia berada di sini karena berbuat gila?

Seperti kata Ferry, udara di luar cerah. Mereka berada di halaman terbuka di tengah-tengah kantor polisi. Menatap langit yang bersih, dengan awan-awan sirus yang membentuk serabut, sementara angin berembus pelan.

Genta duduk bersisian dengan Ferry. Dia mendongak, sudah berapa lama dia tidak melihat langit? Genta tidak tahu, rasanya baru kemarin dia masih melihat birunya langit.

“Sampai sekarang aku belum ingat kapan dibawa ke sini,” gumam Genta.

Ferry menduga itu bukanlah pertanyaan, jadi dia hanya diam saja.

“Orang yang melihatku bersama anak itu, apa dia ayahku?” tanya Genta hati-hati.

Aipda Ferry tidak menjawab, dia malah bercerita tentang orang tuanya.

“Ayahku meninggal waktu aku masih remaja, bunuh diri,” ujarnya memulai.

Genta teringat ibunya yang gantung diri, rasa nyeri menggeliat dalam dadanya.

“Dia terlilit utang.” Sambung Ferry. “Ibuku menyusul dua bulan kemudian, tak tahan hidup susah,” ujarnya. “Seorang penipu membawa kabur uang kami.”

Nada suara Ferry terdengar ringan saat bercerita, seolah-olah dia hanya sedang membicarakan cuaca dan bukannya kisah tragis yang menyedihkan.

“Hidup kadang tidak adil, tapi kita harus menghadapinya. Bukan begitu, Mardiono?”

Lihat selengkapnya