Siang itu terik matahari terasa menyengat, menusuk hingga ke sumsum tulang. Udara begitu gerah, seolah-olah bumi sedang bernapas sambil mengeluarkan api. Langit biru pucat tampak kosong, tanpa awan berarak sebagai pelindung dari sengatan matahari. Debu dari jalanan yang kering beterbangan tertiup angin, membawa hawa panas yang melekat di paru-paru.
Mardiono baru pulang menderes karet setelah setengah harian bekerja. Hari ini ia dan teman-temannya pulang lebih awal karena pekerjaan cepat selesai. Untunglah, karena suhu terlalu terik untuk bertahan lama di bawah matahari. Lengan dan bahunya terasa pegal. Kepalanya berdenyut-denyut efek dari otak yang seakan-akan mendidih. Dia berjalan lelah ke teras, membuka kausnya dan duduk di bangku kayu sambil mengusap wajah yang basah oleh keringat.
Belum juga hilang rasa lelahnya, dia mendengar suara ribut-ribut. Suara hardikan Bu Sulis—tetangga mereka yang terkenal cerewet—terdengar di rumah sebelah. Mardiono mengabaikannya, dia sibuk mengipas-ngipas, sesekali mengelap bagian tubuh yang basah dengan kausnya.
Namun, ketenangannya terusik ketika ia melihat Bu Sulis berjalan menghampiri rumahnya dengan langkah lebar, di sebelah kanannya, Genta terpaksa mengikuti karena telinganya dijewer.
“Eh, Bu Sulis! Apa-apaan ini!” teriak Mardiono murka, dia memang sering memukuli anaknya, tapi dia tidak akan rela anaknya disakiti orang lain.
“Anakmu tuh dididik!” seru Bu Sulis sambil mendorong Genta, tubuh tambun anak itu tersungkur hingga jatuh tengkurap. “Nyolong mangga orang seenaknya, dasar maling!”
Wajah Mardiono memerah. “Jangan asal menuduh, Bu. Mana buktinya anakku nyolong manggamu?”
“Aku lihat sendiri! Kamu enggak percaya? Kamu tuh kalau anak salah jangan dibelain, kalau enggak becus jadi orang tua ya jangan punya anak! Menyusahkan orang lain saja!”
Mardiono hanya berdiri kaku di terasnya. Bara api seakan membakar dadanya, matanya menyala, menyiratkan amarah yang tak tertahan.
“Lain kali kalo punya anak diawasi! Anak setan kok dibiarin!” rutuk Bu Sulis menusuk hati, lalu dia melenggang pergi sambil terus mengomel, tanpa memikirkan efek yang ia tinggalkan akan keselamatan bocah kecil berumur 10 tahun yang baru saja ia tuduh mencuri.
Mardiono menatap Genta tajam. “Benar kamu mencuri mangga Bu Sulis?” geramnya.
Takut-takut Genta menggeleng. “Enggak, Pak, aku enggak mencuri mangga,” bantahnya gugup.
“Jangan bohong!” bentak Mardiono.
Genta mengkeret. “Enggak, Pak, aku enggak mencuri mangga Bu Sulis,” rintihnya ketakutan.
“Terus kenapa Bu Sulis bilang melihat kamu mencuri mangga?!”
“A-aku cuma berdiri di b-bawah pohon m-mangga, aku enggak m-mencuri.” Genta berusaha menjelaskan dengan suara terbata-bata. Rasa takut lebih menguasai dia ketimbang sakit hati dianggap pencuri.