Mendekati rumah, Mardiono berhenti berlari. Dia mengusap wajahnya, menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Kemudian melangkah pelan menyusuri jalan setapak yang menghubungkan hutan dengan halaman belakang rumahnya. Senja yang mulai merambat turun, membuat bayangannya memanjang. Kakinya bergetar, entah karena lelah atau cemas. Pandangannya tertuju ke bawah, tak berani mendongak. Dia merasa malu sekaligus marah pada dirinya sendiri, apa yang sudah dilakukannya terhadap Genta adalah perbuatan terkutuk, tidak ada orang tua yang tega membunuh anaknya, kecuali dirinya....
Ketika sampai di halaman belakang rumahnya, dia langsung pergi ke sumur dan mandi, mengganti baju serta celana yang basah kuyup dengan baju dan celana yang baru ia ambil dari tali jemuran. Begitu selesai, dia terdiam sejenak, seolah-olah tengah menimbang-nimbang bagaimana menata raut wajahnya. Lalu, dia masuk dari pintu belakang. Sumiah yang tengah menyiapkan makan malam di dapur menoleh sekilas. Mardiono berusaha menghindari pandangan Sumiah. Dadanya bergemuruh, menahan perasaan yang tidak menentu.
“Lho, sudah mandi? Tumben,” kata Sumiah sambil lalu.
“Gerah,” jawab Mardiono pendek, melangkah ke ruang depan.
“Lihat Genta enggak, Pak?” Sumiah bertanya tanpa melihat ke arah suaminya. “Sudah mau magrib kok belum pulang.”
Mardiono pura-pura tak mendengar, dia terus berjalan dengan jantung yang berdegup kencang.
Tanpa perasaan curiga, Sumiah hanya meliriknya dan menghela napas. Dilihat dari raut wajahnya, suaminya itu tampak sedang tidak enak hati, mungkin ada masalah dengan teman kerjanya. Sumiah memilih diam, tidak ingin membuat masalah.
Menjelang petang, Sumiah mulai kelimpungan. Biasanya jam segini Genta sudah ada di rumah, sibuk dengan PR-nya atau menonton televisi. Sumiah mencari di sekitar rumah sambil memanggi-manggil anaknya, wajahnya pucat karena cemas. Ketika Genta tidak juga ditemukan, dia mulai ke rumah teman-teman anaknya, menanyakan satu-satu keberadaan Genta, tapi tidak ada yang bersama anak itu. Sumiah kembali ke rumah.
“Pak, kamu enggak lihat Genta?” tanyanya was-was.
Mardiono menggeleng pelan, asap rokok mengepul dari bibirnya, pandangannya tampak kosong, seolah-olah dia sedang berada di dunianya sendiri.
“Dia biasanya main di sekitar rumah. Apa mungkin ke sungai ya?” Sumiah melanjutkan, nada suaranya terdengar tegang.