Kering

D. Andar
Chapter #27

Pengakuan Jahanam

Malam itu udara terasa lebih sejuk, tidak seperti biasanya. Angin berembus agak kencang menyelinap melalui jendela kamar Sumiah yang dibiarkan terbuka. Meski begitu, Sumiah masih merasa gerah. Perutnya yang besar membuatnya sulit berbaring dengan nyaman. Tidurnya gelisah; beberapa kali ia mengubah posisi, tapi tak cukup membantu. Ia menarik napas panjang, melirik suaminya yang tertidur pulas, dengkurannya yang biasanya tak mengganggu, kini terasa lumayan membuat Sumiah kesal.

Sumiah bangkit dari tidurnya, mengayunkan kaki turun dari ranjang. Namun, saat telapak kakinya menyentuh lantai, otot-otot perutnya mendadak mengencang. Untuk menahan rasa sakit dari kram yang akhir-akhir ini sering ia rasakan, Sumiah membungkuk. Sambil mengatur napas, ia bergeming sejenak, biasanya rasa tidak nyaman itu akan menghilang dalam hitungan detik, dan ia bisa kembali beraktivitas seperti semula. Ketika otot-otot perutnya mulai rileks, ia menegakkan punggung sambil menarik napas lega. Ia menunggu beberapa saat sebelum menyangga tubuhnya dengan tangan dan mencoba berdiri, tapi baru saja tubuhnya terangkat, rasa sakit itu kembali menyerang, kali ini lebih hebat. Setengah berdiri, Sumiah mencengkeram pinggiran tempat tidur, bulir-bulir keringat mulai bermunculan di dahinya yang berkerut. Tampaknya yang ia rasakan ini bukan kontraksi palsu seperti dugaannya.

Perlahan, Sumiah berdiri tegak dan berjalan-jalan kecil dengan tangan menyangga punggung bagian bawah. Sesekali ia berhenti saat kontraksi kembali menghantamnya. Ketika kontraksi semakin sering datang, Sumiah duduk di pinggir ranjang dengan agak mengempaskan tubuhnya. Ia lalu beringsut mendekati Mardiono dan menggoyang-goyang tubuh suaminya.

“Pak, Pak, bangun. Kayaknya-aku-mau ... melahirkan,” ucapnya pelan, terputus-putus karena napas yang tersengal.

Mardiono, meski tertidur lelap, langsung terjaga dengan siaga. Ia melompat bangun, menggapai bagian bawah ranjang untuk menarik keluar tas berisi perlengkapan bayi, lalu turun dari tempat tidur. Sarung yang dikenakannya ia selempangkan di satu pundak, sementara pundak lainnya mencangklong tas bayi, kemudian ia berjalan memutari ranjang menghampiri Sumiah.

“Pelan-pelan, Bu,” katanya sambil membantu istrinya berdiri, menuntunnya keluar dari kamar dengan hati-hati.

***

Mardiono terpaku menatap buah hatinya, dadanya bergemuruh, penuh dengan pertarungan emosi.

“Cantik ya, Pak,” kata Sumiah yang masih terbaring lemah. Senyum tipis menghiasi wajahnya yang tampak lelah, tapi memancarkan kebahagiaan.

“Iya, cantik,” sahut Mardiono, berupa bisikan parau. Matanya berkaca-kaca, hal yang jarang terjadi pada dirinya. “Mau diberi nama siapa?” sambungnya bertanya, mengalihkan pandangan pada istrinya.

Lihat selengkapnya