Saat itu pagi menjelang siang, matahari bersinar hangat, cahayanya yang menyilaukan menimpa daun-daun pada pohon rindang di depan lapas. Dari pintu gerbangnya yang baru terbuka, sesosok pria keluar dengan tas kecil—tempat menyimpan barang-barang yang tersisa dari hidupnya setelah bertahun-tahun menjalani hukuman—di pundaknya.
Ketika pintu gerbang di belakangnya kembali tertutup, pria itu diam sejenak, berdiri memandang lurus ke depan dengan pandangan kosong, seolah-olah sedang memikirkan sesuatu. Lima belas tahun terlewati, tidak ada yang berubah pada diri Mardiono. Wajahnya mungkin sudah berkeriput, rambutnya menipis dan semuanya telah putih, tapi postur tubuh dan cara berjalannya masih tegap. Namun, dari ekspresi wajahnya, siapa pun yang mengenal lelaki itu akan menyadari perubahan mencolok yang terjadi padanya. Tiga tahun berada di rumah sakit jiwa dan dua belas tahun di balik jeruji telah mengubahnya menjadi pria tua yang tampak tenang. Bukan ketenangan yang mendamaikan, seperti kebanyakan orang tua yang bijaksana, melainkan ketenangan yang justru terasa menakutkan, seperti sungai yang dalam dan gelap.
Beberapa saat kemudian dia kembali berjalan lurus ke depan, melalui rintisan yang membawanya ke jalan yang lebih besar. Mardiono terus melangkah, menyusuri tepi jalan dengan langkah ringan, tas di pundaknya terayun-ayun.
Setelah berjalan sekitar satu kilometer, Mardiono sampai di sebuah pasar yang tampak riuh meski hari sudah hampir menjelang siang. Pedagang sibuk menawarkan dagangan, pembeli menawar harga, dan kendaraan sesekali membunyikan klakson dengan nada tergesa. Suara gaduh itu seperti tak menyentuh Mardiono, langkahnya tetap mantap, pandangannya lurus ke depan, meski tas di pundaknya perlahan membuat bahunya terasa berat.
Di ujung pasar, tepat di area yang difungsikan sebagai terminal darurat, ia berhenti sejenak di depan deretan bus yang berjajar. Asap knalpot bercampur aroma gorengan dari penjual kaki lima memenuhi udara. Matanya menelusuri daerah tujuan yang tertulis di depan bus. Setelah memastikan salah satu bus akan membawanya ke Payonalas, ia menaiki tangga kendaraan itu tanpa ragu.
Di dalam bus, udara terasa pengap meskipun jendela-jendela terbuka lebar. Penumpang duduk rapat, sebagian mengobrol, sebagian terdiam dengan wajah letih. Kursi yang ia pilih berada di bagian tengah, dekat jendela. Ia duduk perlahan, meletakkan tas di pangkuannya, dan memandang keluar. Jalanan ramai tak menarik perhatiannya. Pikirannya melayang jauh, ke masa lalu dan masa depan yang tampak kosong.