Kering

D. Andar
Chapter #29

Reuni

Mardiono berdiri diam di depan sebuah rumah, pandangannya fokus pada bangunan besar yang berdiri kokoh di tengah halaman luas. Rumah itu memiliki dinding bercat putih yang mulai memudar, pagar besi yang berkarat, dan tanaman hias yang tumbuh liar di sekitar teras. Tidak seperti rumahnya sendiri yang sudah lama terbengkalai, rumah Harso tampak masih terawat meskipun waktu telah meninggalkan jejaknya. Mardiono menatap rumah itu, wajahnya datar, seolah-olah tak menyiratkan apa pun. Namun, di balik ketenangan yang ia tampilkan, aura dingin yang terpancar dari sorot matanya menguar, memenuhi atmosfer di sekitarnya.

Dia melangkah masuk pintu gerbang yang tidak tertutup, mendekati rumah, dan menaiki tiga anak tangga yang membawanya ke depan pintu utama. Tangannya terulur, mengetuk pintu kayu berukir dengan tiga ketukan mantap. Saat langkah kaki terdengar dari dalam, raut wajah Mardiono berubah seketika. Garis-garis tajam di wajahnya melunak, bibirnya melengkung dalam senyum kecil yang tampak ramah.

Pintu terbuka perlahan, menampilkan Harso yang berdiri di baliknya. Di usianya yang sudah menginjak kepala tujuh, Harso masih tampak bugar, meski tubuhnya sedikit membungkuk dan rambutnya sepenuhnya memutih. Selama sesaat, tatapan mata Harso menunjukkan keterkejutan dan rasa gugup, tapi detik berikutnya dia tersenyum.

“Mardiono? Kamu sudah bebas rupanya,” ujarnya, nada suaranya penuh kehati-hatian. Namun, tak menunjukkan kecurigaan apa pun.

Mardiono mengangguk kecil. Matanya menatap Harso dengan kehangatan yang terasa terlalu sempurna. “Seperti yang kamu lihat,” ucapnya pelan, mengulurkan tangannya.

Tanpa keraguan, Harso menjabat tangan Mardiono. “Kamu kelihatan sehat, ayo ... ayo, masuk.”

“Yah, aku bekerja keras di dalam penjara,” sahut Mardiono terkekeh, melangkah memasuki pintu yang kini dibuka lebar.

Harso ikut terkekeh, kemudian dia memanggil istrinya, memintanya membuatkan minuman.

“Lama juga kita enggak ketemu.” Harso diam-diam mengamati tamunya. Saat pertama melihatnya tadi, dia sempat didera perasaan ngeri, tapi melihat raut wajah Mardiono yang bersahabat, perasaan itu pun lenyap. Mardiono juga bukan orang baik, semua orang tahu dia yang membunuh putra pertamanya.

“Lima belas tahun,” gumam Mardiono. “Kapan Pak Harso bebas?” tanyanya kemudian.

“Dua tahun yang lalu.”

“Bagus?”

Harso mencibir. “Dia cuma dihukum 5 tahun.”

“Sekarang dia masih tinggal di rumahnya?”

“Masih. Waktu Bagus dipenjara, istrinya buka warung makan, ternyata laris. Jadi begitu Bagus bebas, dia membantu istrinya dan sekarang warung makannya sudah berkembang. Kadang-kadang dia main ke sini, atau aku yang pergi ke warung makannya.”

Lihat selengkapnya