“Saya mengerti.” Aipda Ferry Rustam mengangguk pelan.
Dia menurunkan telepon genggam dari telinganya, kemudian meletakkan benda itu di meja persegi kecil di sampingnya. Telapak tangannya saling bertaut dan diletakkan di antara kedua lutut, kepalanya terangkat hingga pandangannya tertuju ke arah birunya langit sore.
Selesai....
Hatinya berbisik.
Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah kering dan dedaunan mati, menghadirkan perasaan tidak normal yang menyesakkan.
“Kamu sudah dengar beritanya?” tanya atasannya begitu ia menerima panggilan teleponnya tadi.
“Berita yang mana, Pak?”
“Temanmu tewas tertabrak truk.”
Teman? Ferry terdiam bingung.
“Mardiono. Dia baru bebas kemarin, kan?”
“Mardiono tertabrak truk?”
“Ya, kondisinya mengenaskan. Kabarnya, kepalanya terpisah dari badannya, temanku yang bekerja di rumah sakit yang memberitahuku. Saat tertabrak, tubuhnya jatuh ke kolong dan terlindas roda truk dan kepalanya putus.”
Ferry bergidik. “Dia benar-benar tertabrak truk?” tanyanya.
Tidak ada sahutan dari seberang selama beberapa saat.
“Ada spekulasi dia menabrakkan dirinya,” gumam atasan Ferry hati-hati.
“Bunuh diri?”
“Sepertinya begitu. Menurut sopir truk dan pendampingnya, dia berjalan ke arah truk, seolah sengaja menyongsongnya.”
Ferry kembali terdiam, dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
“Kapan terakhir kali kamu menemui dia?” Atasan Ferry bertanya ketika dia merasa tidak ada tanggapan dari lawan bicaranya.
“Sebulan sebelum dia bebas. Saya tidak terlalu sering menemui dia.”
Ferry sudah memperhitungkan semuanya. Kunjungannya tercatat di buku tamu lapas, jadi bukan sesuatu yang bijaksana jika ia terlihat terlalu sering mengunjungi Mardiono.
“Apa dia membicarakan sesuatu pada pertemuan terakhir kalian?”