Bab 2
Demi Sirri
Abby Mahija Sahya mengendarai mobil di jalan s’Gravenhage yang macet. Lampu hijau menyala, ia menekan klaksonnya beberapa kali agar mobil di depannya segera melaju. Gawainya bergetar pada phone car holder di dasbor. Ia menekan tombol penerima. Terdengar suara wanita, yang adalah Aishah, ibunya yang lebih dikenal dengan panggilan Ina Sei, dengan aksen Bima yang kental.
"Ina sudah sampai di rumahmu, Arb. Ina mau masakin karedo ayam sekarang. Kamu cepat pulang, ya?"
"Iya, Ina. Sebentar lagi, saya sampai," jawab Arbie.
Arbie menekan tombol merah.
Sejam kemudian, karedo ayam itu tidak tersentuh sekalipun di meja makan.
Ina Sei duduk di sofa menatap putranya dengan mata memohon dan berkaca-kaca. Arbie membuang wajahnya ke luar dinding kaca. Di samping sofa yang diduduki Ina Sei, berdiri sebuah lemari kaca penyimpanan keris pusaka berwarangka emas dengan ukiran megah. Jena Teke, sang keris memancarkan aura biru.
"Saya tidak suka kalau Ina sudah mulai bicara tentang kematian."
Dari lemari kaca itu, kamera bergeser, menyorot ke wajah Ina Sei yang mulai merebak airmatanya.
"Tapi, kamu akan menyesal kalau tidak mengindahkan permintaan Ina sekarang," kata Ina Sei terisak, sambil mengusap air mata dengan ujung jilbab syar'inya.
Arbie terhenyak. Lalu, menghelas nafas panjang.
"Tapi, saya belum menemukan orang yang tepat, Ina.”
"Kalau kamu tidak bisa menurunkan wasiat itu pada putra atau putri pertamamu, maka kamu harus memulangkannya ke tanah Bima. Kalau tidak, ia akan tenggelam, Arbie."
Arbie menengok ke Jena Teke yang terpajang di atas lemari kaca. Suara Tajuddin alias Ama Jedo, ayahnya mulai terdengar enigmatik.
"Sama halnya dengan para Pangeran Bima yang tidak bisa hidup tanpa Puteri Makassar, keris Jena Teke pusaka ini akan punah tanpa Kawali Makassar yang mengawalnya. Carilah kawali itu, maka darah kita yang hanyut ke ujung bumi ini tidak akan tenggelam.”
Arbie menghela nafasnya berat. Ia melemparkan pandangannya ke lautan Scheveningen yang bergolak resah, seakan merasakan kegelisahannya.
Terdengar suara Ina Sei di belakangnya. “Ingat pesan terakhir Amamu. Kalau tidak, kita semua akan punah.”
Seperti merasakan energi yang mengalir dari Jena Teke, Arbie menoleh ke arah keris itu, namun dengan cepat membuang wajahnya ke dinding kaca, menembus ke laut di mana matahari perlahan menghilang di balik cakrawala.
Kisah pelayaran keris pusaka yang selalu diulang-ulang oleh ayahnya, dengan jelas terbayang di pelupuk matanya.
12 OCTOBER 1950
Langit yang biru tanpa awan sangat kontras dengan warna air laut yang disiram dengan cahaya matahari yang melimpah. Air laut berdebur menghantam dinding kapal laut Willem Ruys.
Keris Jena Teke dalam genggaman Muhammad Abadi Sahya alias Hima berpendar mengeluarkan aura biru. Di samping Hima, Khadijah Sahya alias Dija, istrinya duduk memangku Jedo yang masih berusia tiga tahun. Mereka duduk berhadapan dengan Wisnu Djajanegara yang didampingi Alliyah Djajanegara, sang istri yang mendekap Kawali Bugis.
Bersama mereka duduk Jan Barend Dijkstra, seorang prajurit tinggi KNIL muda, didampingi Cornelia Dijkstra istrinya.
Semua orang, tak terkecuali para penumpang yang duduk di meja lain, menyaksikan aura biru itu dengan takjub.
“Keris Jena Teke ini adalah simbol silsilah darah biru Sang Bima yang sakti. Ia selalu diturunkan kepada putra atau putri pertama Bima. Dengan keris ini, keturunan kita akan selalu bisa menemukan jalan pulangnya masing-masing. Sehingga seperti mentari yang terbit dari Timur dan terbenam di Barat, Jena Teke akan suatu saat muncul kembali di ufuk Timur bumi.”
Alliyah menunjukkan Kawali-nya. “Dan Kawali Bugis ini seperti batu apung di atas air, dia takkan tenggelam. Aku akan memastikan, dengan pengawalannya, keturunan kita selamat kembali ke Timur bumi.”