Sebagai seorang istri, Lilis sudah banyak berkorban. Sejak Baskoro bukan apa-apa sampai menjadi ular berkepala dua. Entah apapun yang ia lakukan sekarang semua hanya demi sang anak. Ia rela menjadi buruh tani dengan upah tak seberapa. Karena kekayaannya dulu adalah hasil muja sang suami, maka dia kini harus turut menuai karma dengan memulai hidup dari nol lagi. Pernah putra sulungnya ingin punya laptop untuk kuliah seperti yang pernah dipunyai waktu masih kaya dulu, tetapi apalah daya Lilis sekarang. Dia hanya wanita tanpa suami dengan dua anak menjelang dewasa. Kedua anaknya pun tak terbiasa melarat. Meskipun tak kaya raya lagi dan terlunta-lunta di sebuah desa terpencil, setidaknya kali ini Lilis belajar memeras keringat untuk sebuah hasrat.
Kalau ditarik mundur, kenapa dulu Baskoro harus muja? Padahal kalau mau kerja keras hidup ini tak ada yang sia-sia. Keringat pasti punya harga yang pantas. Kalau teringat bagaimana dulu gelimang harta Lilis dengan Baskoro. Tentu tidak ada bayangan sampai harus terlunta-lunta begini. Kalau bukan karena perempuan bernama Ningsih itu, pasti tidak akan jatuh miskin lagi begini. Meskipun tetap muja, tetapi kan kaya raya. Hukum karma memang nyata, disesali pun tak ada gunanya. Lilis kini hanya bisa pasrah pada keadaan yang harus dijalaninya.
Sebenarnya kesengsaraan Lilis dan anak-anaknya merupakan buntut dari sebuah perbuatan penyekutuan Tuhan dan efek samping nafsu keduniawian. Rentetan peristiwa ini bisa tergambar jelas kalau dimulai dari sebuah legenda yang berhubungan dengan keris ternama. Ya! Keris Empu Gandring. Keris yang dibuat Empu Gandring dan dirampas Ken Arok lalu digunakan untuk membunuh pembuatnya. Tahukah bahwa ketika keris Empu Gandring didinginkan dengan mencelupnya ke air salen (Jawa: besalen = tempat mendinginkan pusaka di perundagian atau di pandai besi), airnya menetes sebagian pada sebilah keris emas di dekat Empu Gandring. Sejak itulah si keris membawa bara kesumat sama persis dengan keris yang dirampas Ken Arok itu. Lalu apa hubungannya dengan keluarga Lilis?
Semuanya bermula dari sebuah desa di lereng Merapi bernama Desa Trajumas. Di sebelah timur desa ada hutan bernama Pangpijer dan terdapat gua tua bernama Gua Tandurasa. Gua Tandurasa membuka hari barunya dengan penuh kesejukan berbalut warna tenteram dalam kesunyian. Gemericik air dari atap gua membuat lubang di batu sedalam 40 cm menjadi penanda 40 hari terakhir sedang berlangsung peristiwa alamiah berikut ritual di sana. Sesosok tubuh kurus berambut panjang dan berjenggot panjang tengah duduk bersila tenang dalam pertapaannya. Mata tertutup rapat, raut muka tirus dengan bibir pucat bagai mayat duduk menanti pembusukan.
Di zaman secanggih ini bukankah hal tersebut sebuah pemandangan ganjil, namun sungguh bukan rekayasa, sosok pucat itu adalah lelaki tua asal desa Trajumas. Desa di lereng Merapi ini masih sangat menjunjung nilai adat dengan segala unsur tradisionalnya. Kakek itu bernama Kusno, orang yang terkenal percaya keberadaan benda-benda keramat dan eksistensi makhluk halus seperti jin, setan, genderuwo dan sejenisnya. Kakek ini dikenal orang dengan sebutan Ki Kusno.
Tak banyak yang mengetahui silsilah keluarganya, apakah ia lahir dari batu atau memang dilahirkan seorang ibu. Tiada seorang pun yang tahu. Sosok Ki Kusno dikenal tertutup dan menghindari kontak dengan orang lain, ia bahkan tinggal di tengah hutan di lereng Merapi, dikenal dengan sebutan hutan Pangpijer, seorang diri. Sesekali orang-orang melihatnya sedang duduk termangu di bawah pohon besar dekat pemakaman desa, namun sesaat kemudian ada orang melihatnya tengah berendam di tempuran Kali Krama. Sungguh misterius memang, namun keadaan yang demikian ini tak begitu digubris oleh warga sekitar. Bagi warga sekitar, bisa dapat seikat kayu bakar, menanam sayuran, dan makan sehari-hari saja sudah sangat menyibukkan warga. Untuk apa memikirkan kakek-kakek yang misterius dan tinggal di hutan sendirian? Padahal alangkah enaknya kalau beliau mau tinggal di desa bersama warga. Kalau sakit misalnya, ada yang menjenguk dan mengurus. Apa jadinya bila di hutan? Bukankah malah membahayakan diri-sendiri. Yang jelas kakek itu tidak pernah mengeluhkan sakit, berbicara saja jarang apalagi berkeluh kesah pada orang lain.
Hari ini adalah tepat hari ke-40 pertapaan Ki Kusno. Entah dia jelmaan makhluk halus atau apa, tetapi 40 hari 40 malam penuh dilaluinya dengan terus bertapabrata tanpa makan dan minum. Walau logika kita menolak, realitas ini ada di Trajumas. Siang ini tepat ketika matahari berada di atas ubun-ubun, saat itulah masa titik balik tapabrata Ki Kusno. Menurut keyakinannya, tapabrata 40 hari adalah level tertinggi sehingga seharusnya dia akan dapat imbalan yang pantas hari ini. Saat inilah seharusnya buah tapabrata akan tampak, entah itu manis ataupun masam. Sejak kokok ayam pertama pagi ini bibir Ki Kusno terlihat komat-kamit melantunkan mantra yang mirip syair dan makin lama makin keras terdengar.
“Wedang ludira tan kena kanggo usada, sirna sukma saking raga wus dadi gelung sinubekta. Teja-teja marganing traju puspita tumpes rampek sanalika. Temahan tirta gumanti angsluping surya sinorot bang tanpa daya”
Mantra itu mungkin asing bagi kita karena menggunakan bahasa Kawi atau Jawa Kuno. Pengucapannya khas orang Jawa yakni “a” dibaca “o” (ludira=ludiro). Mantra itulah yang terus diucapkan Ki Kusno sejak pagi tadi. Bila hendak dimaknai secara sederhana, kurang lebih makna mantra tersebut seperti ini.
“Minuman darah tidak akan mampu mengobati, sirnalah sukma dari raga sudah jadi ikatan janji. Segala cahaya dan sinar tertutup dalam sekejap. Demikianlah air berganti dengan tenggelamnya cahaya merah sang surya tanpa daya apa-apa”
Sungguh terdengar seperti syair yang membuat bergidik dan mengerikan namun menyimpan sebuah tanda tanya besar. Entah apa maksudnya hingga berkali-kali mantra itu terus terucap oleh Ki Kusno. Wajah pucatnya yang berkerut makin tampak kusut dalam kerentaan. Anehnya, makin siang bukan makin letih ia berucap, tetapi malah makin lantang saja suara paraunya. Suara parau Ki Kusno menggema memenuhi lorong gua, bahkan puluhan burung kenari yang sejak tadi bertengger di pohon trembesi di sisi barat dekat gua semuanya beterbangan kocar-kacir. Mereka terkagetkan oleh mantra Ki Kusno yang parau namun keras bagai halilintar menyambar-nyambar. Kelelawar yang menjadi penghuni tetap gua pun ikut terguncang dan berhamburan keluar gua. Padahal kala itu adalah siang yang amat terik, maka risikonya kaum nokturnal ini pun kalang kabut tak tahu arah hingga mengisyaratkan suasana riuh akibat suara parau seorang kakek pertapa.
Seusai gerombolan kelelawar itu pergi tanpa sisa seekorpun, segalanya senyap, yang terdengar tinggal suara Ki Kusno dan tetesan air dari atap gua. Tetesan air tersebut tiba-tiba makin lama makin terdengar cepat, sampai-sampai mirip seperti aliran pancuran. Cahaya matahari yang masuk ke gua menembus celah-celah bebatuan makin bergerak perlahan hampir menetap tepat di atas gua. Saat itu adalah saat yang sangat dinanti-nantikan Ki Kusno. Seharusnya inilah saat pertapaannya akan terbayar lunas.
Mantra Ki Kusno makin menderu dan tenaganya seperti orang yang baru saja makan tiga piring nasi. Lesu atas 40 hari bertapa sama sekali tak tersirat di wajah rentanya. Hanya bibir pucat pasi itu yang jujur mewakili rasa letihnya. Sang surya telah bertengger tepat di atas gua, ini pertanda baik bagi Ki Kusno yang telah lama menanti. Kesunyianpun pecah, tiba-tiba angin hutan meribut dan mendengus dari segala arah. Sekitar Gua Tandurasa seperti diobrak-abrik oleh puting beliung kecil. Lalu ada gemuruh lain yang terdengar mendekat. Seekor ular piton besar tampak menggeliat masuk perlahan dari mulut gua mendekati Ki Kusno. Orang awam yang mungkin menyaksikan ini pasti berpikir kakek tua itu bakal jadi santap siang si ular dan cukup mengenyangkan untuk 3 hari ke depan. Tetapi itu salah!
Ki Kusno menghentikan mantranya, mungkin di pikiran normal ia seharusnya takut dengan si ular. Namun nyatanya dia bukan takut tetapi malah segera membuka mata dan menghaturkan sembah pangabektinya pada sang ular raksasa.
“Pangabekti kula konjuk dhumateng Eyang Sarpa Kedhasih, hanya jiwa dan raga ini yang saya bawa untuk saya haturkan padamu, Eyang,” salam Ki Kusno penuh rasa hormat.
Tanpa jawaban apapun, sang ular piton raksasa hanya membuka mulut lebar-lebar dan memuntahkan sebilah keris indah berkelok-kelok dengan gagang berbentuk mirip kepala naga. Keris itu seperti terbuat dari emas dengan ‘luk pitu’ atau berpamor tujuh. Dari ciri-cirinya, keris itu seperti peninggalan masa Singasari. Lalu sejak kapan ular itu menelannya? Entahlah. Seketika itu pula puting beliung di sekitar gua mereda dan sang piton mirip anakonda yang disembah Ki Kusno pun beranjak pergi ke lubang di dinding gua sebelah barat. Bila kejadian ini disaksikan orang lain, pasti mereka terbelalak dibuatnya. Andai sempat direkam dengan kamera terbaru yang berdaya rekam tinggi, pasti peristiwa ini akan mengalahkan fenomena film sekelas “Journey to the Center of the Earth”, “Anaconda vs Phyton” atau film hollywood lainnya. Mungkin bila hanya diceritakan mulut ke mulut ini sangat mustahil dan terkesan fiktif, tetapi memang benar-benar terjadi dan amat nyata terutama bagi Ki Kusno yang tidak jadi makan siang ular piton malah diberi sebilah keris.
Ki Kusno pun bangkit dari pertapaannya dan segera mengambil keris itu. Ketika tangannya mulai memegang gagang keris, ada aliran energi seperti sengatan listrik mengalir ke sekujur tubuhnya dan bisikan lirih terdengar di telinganya.
“Cucuku, Ngger, Kusno. Kutitipkan pusaka ini padamu. Ingatlah! Setiap malam 1 Suro kau harus memandikan keris ini di tempuran Kali Krama. Lalu setiap malam Jum’at Legi di malam-malam ganjil di setiap bulannya kau harus menyembelih ayam cemani hitam mulus di Gua Tandurasa ini. Bila persyaratan ini tak kau lakukan maka berhati-hatilah! Keris ini akan mencari tumbalnya sendiri. Keris ini akan berada di luar kendalimu dan mungkin akan membinasakanmu. Satu lagi Kusno, cucuku. Keris ini bukan keris sembarangan, keris ini adalah titisan keris Empu Gandring yang haus darah, namun mampu mengabulkan semua keinginan pemiliknya dan akan membuat pemiliknya kebal pada segala macam senjata. Ingatlah pesanku ini baik-baik, Cucuku. Satu hal lagi yang kau harus tahu, keris ini bernama Kyai Puspa Dumilah.”
Terperanjatlah Ki Kusno dan ia mulai merasakan kembali aliran darahnya. Entah apa yang terjadi barusan, ini hal supranatural atau sekadar skezofrenia? Seketika setelah bisikan aneh itu, Ki Kusno menunduk pasrah dan mencium keris itu, lalu bangkit dengan gelak tawa menyeringai sekeras mantranya tadi. Segera ia bergegas keluar dari gua dan pulang ke gubugnya karena pertapaan telah membuahkan hasil seperti yang ia harapkan.
***
Sejak pertapaan yang sangat luar biasa itu, keberadaan Ki Kusno makin dipandang oleh warga. Warga desa yang sebagian besar masih berpegang teguh pada pakem Jawa berikut segala kleniknya, pastilah sangat meyakini kekuatan benda pusaka dan kehebatan Ki Kusno. Terlebih lagi sepekan yang lalu ketika Darso anak Pak Kardiman sakit keras, ia dapat sembuh hanya dengan minum air yang dicelupi keris Ki Kusno. Warga makin yakin dan berbondong-bondong mendatangi Ki Kusno dengan segala keluhan penyakit-penyakit mereka. Kini Ki Kusno menjadi dukun paling terkenal di Trajumas. Beberapa orang pun sengaja mengunggah video penyembuhan ala Ki Kusno ini ke media sosial hingga viral. Akibatnya, surat kabar, stasiun televisi, sampai iklan pop up di internet semua bertuliskan “Ajaib, Sang Dukun Hebat, “Ki Kusno” Penakluk Segala Penyakit”.
Berawal dari merebaknya berita dukun sakti itu, kini rumah Ki Kusno dipenuhi antrean pasien yang ingin berobat. Antrean ini melebihi antrean di RSUD Gatot Subroto maupun RSCM. Antrean pasien Ki Kusno berjubel mulai dari bibir hutan Pangpijer sampai di depan gubug reotnya. Oleh karena pasien yang begitu banyak, tentu Ki Kusno tak mampu mengurusnya sendiri. Hal ini membuatnya harus merekrut asisten atau istilah kerennya Bodyguard, hingga ia dapati 4 orang pemuda desa. Tentu mereka tidak bekerja cuma-cuma namun mendapatkan upah dari Ki Kusno. Mereka masing-masing bernama Tasmijan, Karmin, Sakijo dan Saidi. Tiga yang lain berjaga di depan pintu dan Tasmijan berkoar-koar mengatur antrean pasien.
“Sabar saudara-saudara! Semua pasti dapat giliran, kalau hari ini belum dapat besok kami pasti membuka lagi kesempatan. Segala keluhan kalian, penyakit, jodoh, nasib atau guna-guna semua beres di tangan Ki Kusno. Hahaha! Tenang saudara-saudara! Sabar, antre yang rapi,” koaran Tasmijan.
“He, kowe Jan! Ngerti opo sampean? Kami ini sudah 3 hari antre tapi gak dapat-dapat giliran, kenapa lama sekali sih mereka yang di dalam itu? Ngapain aja?” pasien emosi.
“Tenang, Kang. Sabar semua pasti dapat giliran kok, sabar to, ya,” redam Tasmijan.
“Saya Herlambang pengusaha minyak asal Medan, saya berani bayar berapapun, Pak. Ijinkan saya masuk duluan,” kata seorang pasien berjas dengan menyodorkan sejumlah uang.
“Wah, baiklah. Monggo-monggo masuk, Pak monggo,” sahut Tasmijan.
“Lo, Jan! Gak bisa gitu dong. Kami saja antre berhari-hari belum bisa masuk, kok dia baru datang enak-enak masuk. Gak bisa itu!” pasien marah bukan main.
“Lo, iya bener itu, ndak bisa! Betul kan ya? Sikat aja Si Tasmijan ayo masuk!” provokasi pasien-pasien lain.
Seketika keadaan menjadi riuh karena ulah Tasmijan, bahkan pasien akan merangsek masuk dan makin berdesak-desakan. Ketika keadaan masih panas-panasnya Ki Kusno pun keluar, dengan tenang ia membaca mantra dan mengacungkan keris pusakanya.
“Niat ingsun mateg aji sirep begananda, sumilak tirta kencana mangambah sarira peteng tanpa cahyaning rembulan. Ajiku sirep, sirep begananda luluh sakabehing prawata asep resep mahargya gandaning puspita. Baaahh,..”
[Aku berniat mengeluarkan ajian sirep begananda, tersibak air kencana menerpa tubuh gelap tanpa cahaya rembulan. Ajianku sirep, sirep begananda luluh semua perkara terserap aroma wewangian bunga. Baaah...]
“Maaf, Nakmas, jangan jual jas Anda di tempat saya, kembalilah ke antrean. Nanti pada giliran Anda semua bisa kita bicarakan di dalam,” ucap Ki Kusno tenang pada lelaki berjas bernama Herlambang.
Hal aneh bin ajaib pun terjadi, seketika antrean tenang tanpa suara sedikit pun, bahkan raut wajah para calon pasien sayu larut dalam kepasrahan. Semua kembali ke barisan dan tempat duduk mereka semula. Betapa memang hebat Ki Kusno ini, bahkan hipnotis ala Master Romy Rafael pun lewat tak ada apa-apanya. Sebenarnya tanpa ajian sirep itu sikap Ki Kusno memang sudah cukup adil, ia tak membiarkan kecurangan atas keserakahan Tasmijan mengotori tempat praktiknya, lalu antrean pun kembali berjalan. Makin sore antrean makin bertambah, bahkan ada yang sampai bermalam dan mendirikan tenda di hutan itu. Sekilas pemandangan hutan tak lagi sunyi, tetapi lebih mirip pasar tumpah dengan lilin, obor, dan api unggun sebagai penerangannya. Layaknya para pecinta alam yang sedang berkemah atau calon perkampungan baru yang masih merintis pemukiman.
Fenomena pengobatan alternatif ala ilmu kebatinan memang masih tumbuh subur di negara berkembang ini. Sejak era Ponari sampai Bu Ningsih Tinampi, eksistensi metode penyembuhan unik ini terus merebak dan ramai dikunjungi. Sama dengan praktik Ki Kusno, kini sudah sampailah tepat sebulan penuh praktik dukun sakti berjalan, bukan makin sepi pasien tetapi makin hari makin sesak. Suatu hari datang seorang pasien bernama Baskoro, ia adalah orang miskin putus asa yang ingin cepat kaya dengan meminta jalan keluar pada Ki Kusno. Jalan pintas supranatural masih juga jadi pilihan puncak untuk sebagian orang putus asa. Mungkin tak hanya Baskoro, bahkan masih ada Baskoro-Baskoro lain di luar sana.
Tibalah jatah antrean Baskoro terjawab dan diperkenankan masuk menemui Ki Kusno. Mereka tampak dari jendela kayu reot sedang membicarakan sesuatu. Sangat serius dan sesekali Baskoro tampak mengangguk-angguk mengiyakan ucapan Ki Kusno. Akhirnya setelah berembuk cukup lama, Ki Kusno pun mengajukan suatu jalan pintas magis. Tepat malam Jum’at Legi ini adalah malam ganjil, saat itulah Ki Kusno berkewajiban menyembelih ayam cemani hitam mulus di Gua Tandurasa, maka malam Jum’at nanti ia akan mengajak Baskoro dan memintakan berkah pada Eyang Sarpa Kedhasih alias si piton raksasa. Baskoro tampak masih kebingungan tetapi seolah dengan senang hati tetap menerima usulan itu dan menyanggupi apa pun risikonya. Inilah indikasi utama orang putus asa. Asal dapat jalan harta, nalar dan logikanya sirna entah kamana.
Gulir pasien Ki Kusno makin bertambah dan kian membludak. Namun kewajiban ritualnya pada Eyang Sarpa adalah ikatan yang tak bisa dinomorduakan. Rencana pun dijalankan, mulai hari Kamis Kliwon atau sehari sebelum malam Jum’at Legi, praktik Ki Kusno ditutup sementara dengan alasan rumah Ki Kusno akan direnovasi beserta perbaikan jalan akses masuk ke rumahnya. Memang renovasi itu benar-benar dilakukan pula, tetapi hajat sebenarnya adalah prosesi sembelih ayam dan mengantar Baskoro ke Gua Tandurasa. Setelah ini gubug reot itu akan segera jadi rumah mewah Sang Dukun Sakti.
Tepat di malam Jum’at Legi tanggal 17 penanggalan Jawa, Ki Kusno bersama Baskoro memulai prosesi ritual mereka. Mereka mendaki lereng Merapi alias masuk jantung hutan Pangpijer tepat ketika matahari tenggelam tertutup Gua Tandurasa. Mereka hanya berbekal obor dan peralatan yang dibutuhkan untuk ritual. Ayam cemani hitam mulus dan bunga spesial ala sesajen tidak lupa mereka bawa. Setelah memasuki gua, mereka pun mulai bersiap untuk ritual. Pertama mereka menyembelih ayam cemani lalu duduk bersila di atas tikar pandan dengan sesaji lengkap dua tampah di depan mereka.
“Duh Eyang Sarpa Kedhasih, pangabekti kula konjuk, Eyang. Saya datang malam ini menepati janji yang telah saya ikat dan saya juga ingin menghaturkan sedikit permintaan, Eyang. Nakmas Baskoro ini membutuhkan pertolonganmu, Eyang. Datanglah,..Datanglah,..Datanglah,...” Ki Kusno memanjatkan mantra.
Suasana yang semula diiringi suara hutan dan jangkrik tiba-tiba berubah hening. Beberapa saat kemudian, terdengar gemuruh memenuhi gua, lubang sebelah barat gua tampak bergetar dan mengeluarkan aroma anyir bercampur hawa panas. Lalu muncul seekor ular piton besar yang tiada lain adalah Eyang Sarpa Kedhasih. Baskoro terlihat menganga terbelalak linglung karena tak percaya apa yang ia saksikan. Pada saat itu ia sangat ketakutan dan seakan-akan ingin segera pergi saja meninggalkan Ki Kusno. Keringat sebiji jagung kini sudah sebiji salak membasahi kening lebarnya. Namun karena ini adalah satu-satunya jalan menurut Baskoro, maka ia memberanikan diri untuk tetap melanjutkan ritual.
“Kuterima pangabektimu cucuku. Akupun sudah mengetahui apa maksud dan tujuanmu memanggilku. Angger Baskoro, benarkah kau siap dengan segala risiko atas pilihanmu ini?” suara tua menggema Eyang Sarpa memenuhi gua.