Deru mesin pemotong kayu, bunyi pukulan palu berkali-kali, dan suara tatah pengukir kerajinan kayu terdengar riuh dari mebel besar di pinggiran kota itu. Mebel yang tak pernah sepi selalu saja ada pelanggan berbujet besar memesan perabotan di sana. Ada pula pengusaha asing yang mengantre pesan furnitur dari kayu dan beberapa patung. Usaha Baskoro itu memang kian ke sini makin ramai dan berkelas internasional. Setiap mulut dan mata pasti mengatakan bahwa Baskoro adalah orang tersukses di dunia bahkan mungkin konglomerat baru negeri ini. Tak seorang pun menyangka ternyata dibalik kesuksesan itu ada sosok dari dunia lain menyokong dengan segala tipu daya dan kuasanya.
Malam 1 Suro tahun ini adalah Suro keempat selama masa kebaktian Baskoro pada Eyang Sarpa. Itu berarti ia telah hampir empat kali menyediakan kepala kerbau jantan dan telah merelakan putra ketiganya untuk Eyang Sarpa Kedhasih, mungkin Baskoro kini sangat mapan dan terpandang sehingga membesarkan kepalanya. Kematian Ardi putra ketiganya tiga tahun lalu benar-benar sudah direlakan dan sudah tak pernah menjadi beban pikirannya. Ardi yang kala itu masih berusia sepuluh tahun telah dijadikan wadal oleh Baskoro sesuai perjanjiannya.
Ardi yang masih kelas 4 SD kala itu belajar di kamarnya. Seperti anak-anak pada umumnya, ia belajar karena besok ulangan Bahasa Inggris. Meski sesekali sambil main game online tetapi Ardi termasuk anak yang rajin. Rajin membuka akun gamenya. Tetapi kenakalan standar itu tak lantas jadi dasar keikhlasan anak kita diwadalkan pada setan, kan? Tiba-tiba lampu kamarnya padam. Kini tinggal nyala telepon pintar yang menerangi wajah lugu namun bebalnya. Ardi gusar ingin keluar kamar dengan menyalakan flashlight telepon pintarnya. Tiba-tiba jendela kamar terbuka dan angin malam masuk ke kamar. Ia tidak jadi keluar dan hendak menutup jendela, namun nahas. Ketika tangan mungilnya akan meraih daun jendela, seperti ada reptil yang menyambar pergelangan tangannya.
“Aduuh! Sakit banget,.. apa ini yang gigit tanganku? Haah,.. darah? Too,...loongg,...hhkkkk aakkkhhh,..” suara Ardi terhenti menuju teriakan terakhirnya.
Ardi tidak sempat meminta tolong dan ia hanya kejang-kejang dengan mulut penuh busa. Entah ular jenis apa yang menggigitnya, yang jelas dua lubang taring yang tersisa di tangan membirunya itu adalah bekas gigitan ular. Akhirnya, Ardi meninggal di kamarnya tanpa seorang pun tahu itu. Sampai ketika 15 menit setelahnya baru sang ibu, Lilis, memeriksa kamar Ardi yang gelap. Ia mengira anaknya sudah tidur karena kamarnya gelap. Seperti kebiasaan seorang ibu, dia akan mengecek anaknya yang tertidur dan merapikan selimutnya. Dalam remang ruangan gelap Lilis tak melihat anaknya di tempat tidur, lalu ia meraba tombol lampu di dinding. Klek!... Lampu menyala dan tidak tampak Ardi dimana pun, hanya jendela kamar yang terbuka. Apakah Ardi kabur dari rumah? Tidak mungkin, karena tak ada masalah apa-apa. Teriakan histeris pecah ketika Lilis melihat Ardi tergeletak dengan mulut pucat berbusa, mata terbelalak, dan tangan membiru dengan dua lubang kecil sejajar seperti bekas gigitan ular.
Sungguh kejadian yang ganjil dan memilukan ketika seorang anak meninggal karena digigit ular, padahal rumah mereka ada di perumahan elite yang kecoak saja enggan memasukinya. Namun kabar duka dan memilukan itu tampak sebagai pengorbanan besar sekaligus sinyal bahagia bagi Baskoro, ayah Ardi. Peristiwa itu terlewatkan begitu saja oleh Baskoro sebab ritual untuk piton raksasa alias Eyang Sarpa harus dilangsungkan. Seperti tiga Suro sebelumnya, Baskoro menghias kamar khusus pemujaannya dengan bunga-bunga 29 rupa dan menghadap sesajen lengkap kepala kerbau jantan utuh bertanduk, namun berbeda dengan tahun sebelumnya kini ia mempunyai beberapa tugas tambahan. Malam ini ia harus memandikan Puspa Dumilah di tempuran Kali Krama juga menyembelih ayam cemani di Gua Tandurasa setiap Jum’at Legi bertanggal ganjil. Segera setelah selesai menyiapkan kamarnya, Baskoro membawa Kyai Puspa Dumilah ke tempuran Kali Krama beserta abarampe pemandian pusaka. Perjalanan dari rumah ke Trajumas ditempuh dalam waktu 3 jam menggunakan mobil. Ia parkirkan mobil mengkilatnya tepat di tepi jalan pinggir Kali Krama. Ia setengah mengendap-endap turun ke tempuran Kali Krama agar jangan sampai ada warga yang melihatnya. Sesampainya di bibir tempuran kali Krama ia pun segera memulai ritual.
“Wedang ludira tan kena kanggo usada, sirna sukma saking raga wus dadi gelung sinubekta. Teja-teja marganing traju puspita tumpes rampek saknalika. Temahan tirta gumanti angsluping surya sinorot bang tanpa daya”
Setelah membaca mantra warisan Ki Kusno itu Baskoro memandikan keris pusakanya dengan tenang lalu menaburkan bunga 7 rupa di Kali Krama sebagai tanda bahwa prosesi pemandian keris telah usai. Segera setelahnya Baskoro pun bergegas pulang karena malam akan semakin padat jadwal ritual dengan Eyang Sarpa Kedhasih. Ia tidak ke Gua Tandurasa karena ini malam Jum’at legi tidak bertanggal ganjil.
Sesampai di rumah, Baskoro langsung menuju ruang pemujaan yang telah mirip kamar dukun itu. Lalu ia duduk bersila di tengah ranjang sambil menghadap setampah sesaji yaitu bunga 29 rupa, sentir “ngraga sukma”, dupa dan kepala kerbau jantan utuh bertanduk. Baskoro pun membaca mantra memanggil Eyang Sarpa Kedhasih.
“Tunjung tinelunga ganda arum sinebar antaraning mega mangambar-ambar. Kukusing dupa kumelun sinimpen ing telenging kalbu jinujuk ing taman puspa tanubrata. Ora anjejamah gorahing sukma amung ambyur andum kamulyan jati saking Eyang Sarpa Kedhasih. Sumangga kula aturi rawuh, Eyang”
[Bunga menjulurkan aroma wangi bertebaran antara mega di angkasa. Asap dupa mengudara tersimpan dalam lubuk sukma tiba di taman bunga mulia. Tak ingin merusak jiwa hanya ingin berbagi kemuliaan sejati dari Eyang Sarpa Kedhasih. Silakan saya undang engkau datang, Eyang]
Seusai mantra yang diucapkan oleh Baskoro, angin malam nan sejuk memasuki ruangan. Aroma harum seperti kombinasi bunga-bunga tamansari menyerbu masuk kamar itu lalu jendela terbuka lebar dan sesosok piton mirip anakonda itu melongokkan kepalanya. Sorot kebengisan tampak ketika sang ular melihat kepala kerbau masih dilumuri darah segar di leher bekas sembelihan. Eyang Sarpa membuka mulut lebar dan melahap kepala kerbau tersebut.
“Aku yang datang, Angger Baskoro. Seperti malam kita sebelumnya aku tak pernah kecewa dan tak ingin kecewa. Kepala kerbau ini selalu membuatku merasakan energi besar dalam tubuhku,” Eyang Sarpa alias piton raksasa itu berkomentar.
“Pangabekti kula, Eyang. Saya tak akan lupa dengan janji saya, ini adalah hidup saya yang sudah puluhan tahun saya impikan, Eyang,” jawab Baskoro.
Setelah itu Eyang Sarpa masuk ruangan dan tubuhnya melingkar hampir memenuhi kamar pemujaan. Lalu tampak ular raksasa itu membuang hajatnya berwarna cokelat kehitaman. Lalu Baskoro segera mengambil tanpa ragu hajat yang terbuang itu. Ajaibnya, beberapa saat kemudian Baskoro mengambil lalu mengusap kotoran piton raksasa itu. Ia pun menepuk bongkahan seukuran salak itu hingga muncul sesirat warna emas. Ternyata bongkahan emas seukuran biji salak terkuak dari dalamnya. Baskoro tampak kegirangan.
“Hahahahahaha,.. terima kasih Eyang, inilah yang selalu saya harapkan. Aku akan kaya dan lebih kaya, hahahaha,...” Baskoro terlena.
Inilah ritual akbar yang sudah 4 tahun berjalan di kehidupan Baskoro. Hebatnya lagi, semua itu dia format rapi sampai-sampai siapa pun tak pernah tahu akan hal itu. Bahkan istrinya, Lilis, tak tahu kalau selama ini suaminya itu memuja setan untuk kekayaannya. Namun karena puluhan tahun bersama, mustahil keanehan itu tak disadari oleh Lilis. Pernah suatu ketika sang istri merasa gerah mencium gelagat mistis kelakuan Baskoro. Lilis pun mendaftarkan suaminya ke suatu reality show televisi swasta yang ceritanya biasa menyadarkan orang yang terjebak dosa. Mungkin Baskoro mempunyai bakat akting yang hebat, sebab kala itu ia berpura-pura tobat dan bahkan mengiyakan semua kata ustadz yang didatangkan reality show tersebut.
Perlu diketahui juga, yang namanya program televisi selalu berkaitan dengan share dan rating. Acara penyadaran dari dosa itu pun sebenarnya ada unsur settingan. Bahkan Baskoro sebenarnya malas mengikuti produser acara yang memintanya mau direkam dan berpura-pura tobat. Namun si produser menawarkan kerjasama bisnis properti untuk acara talkshow di stasiun tv-nya. Liciknya lagi, permainan produser acara reality show ini pun di belakang Lilis. Seorang ibu, korban reality show yang amat percaya pada acara pertaubatan tersebut. Terang saja, seminggu sesudahnya Baskoro langsung kembali pada ritualnya. Kali ini ada bumbu kekerasan pada istrinya. Baskoro mengancam akan mengusir atau kalau perlu membuang Lilis berikut anak-anak ke jalanan. Ibu mana yang tega membiarkan anak-anaknya terlantar? Lagipula anak laki-laki bungsunya juga baru meninggal. Hal paling sensitif itulah yang berhasil membungkam Lilis. Malam Jum’at Leginya pun Baskoro sudah kembali pada mandi kembangnya.
Lilis kini hanya bisa pasrah atau mungkin juga ia mulai menikmati kemewahan yang disuguhkan suaminya. Lagipula mengurus Taufan dan Amanda kedua anaknya yang menginjak remaja itu sudah amat menyibukkan. Pernah suatu hari Taufan bertanya padanya.
“Ma, kenapa sih Papa kalau malam Jum’at pasti aneh. Pakek acara mandi-mandi kembang gitu lagi... Ikut aliran sesat ya, Ma?” Taufan penasaran.
“Hus, jaga bicaramu, Pan! Nanti kalau kedengaran Papa bisa bahaya. Itu Papa sedang menghilangkan bau badan saja biar gak diejek sama rekan kerjanya,” Lilis sedikit menyimpan kebohongan.
“Helloo, Mama! Hari gini mandi kembang biar gak BB. Gak tau deodoran apa?” ledek Taufan.
“Itu aroma alami, Mas. Deodoran itu gak bagus buat kulit, apalagi keringat Papa baunya minta ampun, mana bisa sekadar deodoran, iya kan, Ma,” sela Amanda polos.
“Eh, Dek. Kamu kan baru kelas VIII SMP, mana tau soal bau badan pria? BB buat kamu itu berat badan tuh kurusin, hahahahah,...” Taufan meledek adiknya.
“Iiih, Mas Upan pasti gitu deh,... Maaaa,.. Mas Upan jahat, Ma,” Amanda merajuk.
“Aduuuuuh, aduuuh, ini berdua ya! Pasti ujung-ujungnya ribut. Sudah sana mandi dan belajar, gak usah urus Papamu dan tengkar-tengkar lagi, badan kalian juga bau apek nih, huh.. sana-sana pada mandi!” Lilis menetralisasi.
“Siap, Booss!” jawab Taufan dan Amanda serempak namun Amanda agak cemberut.
Mereka pun berlalu untuk mandi. Seringkali pertanyaan mendasar soal ritual aneh sang ayah membuat Taufan dan Amanda bertanya-tanya. Tetapi berkali-kali pula hanya berakhir dengan percekcokan ala-ala remaja. Sampai akhirnya, mereka sudah tak berpikir untuk mencurigai lagi perilaku aneh Baskoro. Lilis pun tidak mau ulah suaminya mempengaruhi anak-anaknya. Sekuat tenaga ia akan menjauhkan sang anak dari hal-hal yang berbau mistis yang tak dipahami pula olehnya namun ditekuni Baskoro.
***
Bunyi jam klasik ruang tamu berdenting 4 kali, tandanya ini tengah malam, namun sial Taufan terbangun dan ingin buang air kecil. Ini bukan malam Jum’at kan? Takutnya nanti ada bau kembang terus muncul tante kunti. Itulah gejolak benak Taufan. Taufan remaja yang sudah matang dan tengah berkuliah semester 2 di kampus favorit kotanya. Namun kalau urusan perhantuan dia paling berani, berani kabur paling awal. Di usianya yang sudah kepala dua, masih sering minta diantar ibunya kalau ke kamar mandi. Malam ini malas banget membangunkan ibunya, akhirnya ia nekat ke kamar mandi sendirian.