Keris Puspa Dumilah

Nanang Hadi Sucipto
Chapter #3

3 | Puspa Dumilah Membabi Buta

Mayat Baskoro ditemukan tanpa kepala oleh pembantunya. Kepanikan dan jerit histeris tentu tak terelakkan. Menghubungi pihak Kepolisian adalah langkah paling menempel di benak. Polisi pun datang dengan membawa jenazah Baskoro ke rumah sakit untuk diautopsi. Polisi juga membawa pembantu Baskoro ke kantor untuk dimintai keterangan. Setelah hasil autopsi keluar, tidak ada tanda-tanda penganiayaan. Yang ada memang bekas belitan ular piton dan DNA piton di bekas luka mengaga tempat kepala Baskoro semula berada. Kematian karena gigitan ular ini hampir sama dengan kematian Ardi, anak ketiga Baskoro, yang matinya dulu adalah sebagai wadal. 

Sejak itu, semua hak waris baik harta dan bisnis Baskoro berpindah ke tangan Lilis, istrinya, namun Lilis tidak mau mengurusnya dan lebih memilih hidup tenang dengan anak-anaknya. Semuanya ia limpahkan kepada pengacara Baskoro untuk membuat surat kuasa pelimpahan tanggung jawab warisan kepada manajer-manajer yang ada di kantor dan usaha mebelnya. 

“Mama gimana sih? Kita kan susah di desa ini, kok warisan Papa malah ditolak sih, Ma?” Taufan agak tamak.

“Upan! Kan Mama udah bilang, kamu beresin aja skripsi kamu itu, kuliah yang bener, kerja yang mapan. Harga diri kita jauh lebih mahal daripada sekadar warisan Papamu,” Lilis menjelaskan.

“Aneh banget si Mama? Kan kita bisa balik lagi jadi kaya? Aku bisa lulus kapan aja bukan karena skripsi, Ma. Tapi ya karena nunggak uang kuliah, mau ngerjain skripsi aja harus pinjam temen itu laptop,” Taufan bosan kesusahan.

Lilis tak mampu menjawab semua perkataan Taufan. Semua itu amat menohok hati seorang ibu. Ketika anaknya butuh sesuatu dan ibu tidak mampu mengabulkannya, serasa itu dosa terbesar baginya. Air mata Lilis mengalir begitu saja. Taufan yang memang anak mama dari dulu tiba-tiba jadi tak tega melihat ibunya menangis karena ulahnya. 

“Mama, Mas Upan,.. Manda pulang.”

“Loh, Mama kok nangis? Mas Upan apain Mama? Jahat banget sih!” Amanda protes.

“Apaaan sih pulang sekolah udah nyamber aja kayak gledek!” Taufan menimpali.

“Udah-udah, Mama gak pa pa kok, udah sore ayok kita makan. Kalian pasti capek kan? Mama masak sayur kangkung dan ikan asin hari ini. Yuk makan,” Lilis berusaha tegar dengan menyeka air matanya.

Keluarga ini mirip korban kepala keluarga tak bertanggung jawab, namun ini justru memang yang terbaik bagi mereka. Keputusan Lilis menolak warisan, terlepas karena harga diri atau telah mencium aroma muja suaminya, memang sudah sangat tepat. Kalau ia serakah dan menerima itu, sama saja dengan mengantarkan keluarganya menuju pemujaan atau tragedi berdarah baru. Ya,..memang mereka mungkin miskin harta sekarang tetapi setidaknya mereka masih punya masa depan.

Sungguh suatu yang bukan hak itu akan musnah seperti awalnya. Seperti dilanda krisis, secara tiba-tiba semua bisnis Baskoro mengalami kebangkrutan. Segala aset beserta rumah megahnya disita oleh bank. Harta yang tampak tidak akan habis 7 turunan itu kini ludes entah dimakan siapa. Namun itu semua tak menjadi beban bagi Lilis dan justru ini juga membungkam Taufan yang menginginkan warisan Papanya. Terbukti kini semua habis, keluarga Lilis kini memilih hidup yang seharusnya tenang meski dalam keterluntaan. 

***

Rumah mewah itu tiada pemiliknya, gerbang depan dipasang papan bertuliskan “DISITA BANK RBI”. Deru pemotong kayu dan suara palu pun kini hening seribu bahasa. Suatu siang pegawai bank yang menyita rumah itu diminta mengemasi barang-barang dan memilah yang bernilai dan tak bernilai jual. Yang bernilai jadi aset tambahan untuk bank dan yang tak bernilai bisa dikirim ke keluarga Baskoro atau mungkin dibuang. Ketika baru memasuki ruang utama hawa kekosongan rumah itu sudah terlebih dahulu menyapa. Aroma seperti pandan sesekali tercium, apakah rumah semegah itu dihuni musang pandan liar. Padahal belum lama juga ditinggalkan? Sesekali aroma bunga Kantil berhembus menyapa hidung dari segala arah. Kalau bunga-bunga jelas dari mana, pasti ruang penyimpanan pusaka Baskoro. Sayup angin seperti bisikan membelai menerobos telinga, suasana ini pun ternyata membuat bulu kuduk sang pegawai bank berdiri. 

Beberapa saat setelahnya terdengar seperti suara panggilan perempuan tua yang asalnya dari sebuah ruangan terkunci rapat tepat di sebelah kiri ruang utama yang tak lain adalah ruang pusaka. Pegawai bank yang bulu kuduknya sudah tegak berdiri itu makin bergidik. Namun rasa penasarannya lebih tidak dapat dikuasai daripada ketakutannya. Ia pun mendekati sumber suara misterius tersebut dan tiba-tiba... Glodhak! Ia terkaget dan melompat terpental hingga tersungkur. Ternyata seekor kucing dari tempat sampah dekat ruangan itu yang memanggilnya. Sambil bergumam kasar sang pegawai melanjutkan tugas menuju lantai atas.

“Kucing sial! Tak kira hantu, eh ternyata,.. tapi mana ada hantu travelling siang-siang,,... hahahaha,...” sang pegawai bank menenangkan diri.

Setelah insiden kucing melompat tadi, ia melanjutkan misinya. Ia membuka seluruh ruangan atas dan mengemasi seluruh benda-benda kecil tak berharga di sana. Ia kemas seluruh perkakas dengan terus menggumam.

“Aku ini sebenarnya apa sih? Teller, satpam, apa OB? Kok disuruh kemas barang kaya jasa kurir aja. Tapi ndak pa pa lah, nasabah sepi daripada dikasih orang mending tak kantongi sendiri hehehe,” sangat retoris orang ini.

Ia mengemas rapi dan melakban semua kardus dengan sigap. Memang cocok sekali orang ini jadi pekerja di jasa pengiriman paket, bukan bank. Setelah seluruh ruang atas disisir, ia pun segera menghubungi rekannya untuk mengirimkan mobil pengangkut barang-barang tersebut. Belum sampai selesai bicara melalui ponselnya tiba-tiba...Braaakk!! Pintu kamar tertutup dengan sendirinya. 

“Eh, copot..copot pintunya copot! Aduh bikin kaget aja,.. ha,.. iya halo, ini lo pintu nutup sendiri. Udah buruan ke sini, ini rumah serem. Tadi kucingnya aja serem, hahahah,.. oke bray cepet ya,” menutup telpon.

Sambil bergumam kasar lagi ia bergegas membuka pintu dan turun untuk mengemasi barang-barang di lantai bawah. Belum sampai bawah, saat menuruni tangga, ia melihat seekor ular melingkar di anak tangga. Terkaget lagi yang ketiga kali pegawai itu dan ia sampai jatuh terpelanting lalu terguling-guling ke lantai. Sambil merintih agak berselubung gumam kasar ia bermaksud mengecek keberadaan si ular yang dilihatnya. Aneh, ketika dilihat lagi ternyata tak ada ular sama sekali di tangga itu. Pegawai bank merangkap tukang kemas ini mulai mengucek-ngucek matanya. Heran bukan main, bagaimana ular melingkar kok tiba-tiba hilang. Jangan-jangan malah sudah turun di dekatnya. 

Di tengah keheranannya, terdengar bunyi klakson yang menunjukkan rekannya sudah datang. Ia pun bergegas menemui rekannya. Belum sampai ia membuka pintu depan, panggilan aneh perempuan tua itu muncul lagi dari tempat yang sama bahkan kali ini agak lebih jelas. Karena disergap rasa penasaran ia mendekati ruangan itu lagi, namun anehnya kini terbuka lebar. Padahal ruangan itu tadinya terkunci rapat. Belum selesai rasa herannya, tampak cahaya berpendar kemerahan menyala dari arah etalase kaca kecil di tengah ruangan. 

Seperti terhipnotis, sang pegawai tertarik mendekat. Matanya agak berbeda kali ini. Bukan mata penasaran tetapi kosong dan agak memerah. Tubuhnya gemetar tak terkendali. Tangannya tergerak memegang sisi kanan dan kiri etalase kecil itu. Lebih ekstrim lagi, si pegawai membenturkan kepalanya untuk memecahkan etalase itu. Layaknya kejadian Tasmijan tempo hari, pegawai itu mengulurkan tangannya dan memegang gagang keris lalu mencabut Puspa Dumilah dari warangka. Seperti dirasuki energi aneh, ia meraung-raung dengan keris digenggam erat di tangan. 

Mendengar suara gaduh dan kaca pecah, rekan pegawai bank yang baru datang itu masuk ke dalam rumah. Dengan rasa penasaran ia mencari sumber kegaduhan. Begitu ia masuk, bukan temannya yang didapati, namun sesosok tubuh mirip rekannya. Tetapi memang itu bukan rekannya yang biasa ia kenal, sosok itu bermata merah, memegang keris, dan berdiri agak doyong. Lebih mirip zombi kalau diamati baik-baik. Sosok itu pakaiannya tak rapi lagi dengan kening berdarah dan mata memerah seperti bekas tercolok sesuatu.

“Lo, lo, looo,... kamu ini apa-apaan, mbok ya jangan menakut-nakuti to wah! Pakaianmu itu sudah kaya berandalan, pegawai bank apa preman pasar kamu ini haa,..” ledek rekan pegawai itu.

Tidak ada jawaban, yang ada hanya sebuah raungan keras. Sepersekian detik kemudian, melompatlah si pegawai bank dengan menggenggam Puspa Dumilah menerkam rekannya dan langsung menikamkan keris yang dibawanya dengan brutal. Pegawai itu menikam seolah singa mencabik-cabik mangsanya, diobrak-abrik isi perut rekannya lalu sempat memakannya, dengan lahap pula. Selang beberapa saat keris itu bergetar sama seperti kasus Tasmijan. Dengan tenang pegawai bank itu menghunuskan Puspa Dumilah dari mulut menembus tenggorokannya. Seperti punya energi penggerak, keris itu perlahan-lahan masuk sepenuhnya ke dalam tubuh si pegawai hingga ia turut tewas seketika bersama rekannya yang tercabik-cabik.

Seperti kasus kematian Tasmijan dan rombongannya beberapa tahun silam, ketika diautopsi mayat-mayat itu mati karena senjata atau benda tajam tetapi di sekitar mayat tidak ditemukan senjata tajam bersidik jari asing. Sekali lagi dalam tubuh mayat pegawai nahas itu tak ada benda tajam yang merobek tenggorokan dan mencabik tubuh rekannya. Tak ada indikasi apa pun, keris-keris lain di ruang pusaka pun rapi terkunci di almari. Tanda-tanda sebilah keris yang sebenarnya membunuh keduanya, tidak pernah muncul. Satu-satunya petunjuk adalah etalase pecah dengan warangka sebilah keris yang kosong. Polisi membawa benda itu untuk selanjutnya diselidiki. Ini sama persis seperti kasus kematian asisten-asisten Ki Kusno dukun sakti itu. 

Pihak kepolisian yang diminta menyidik kasus ini pun agak sedikit kerepotan menentukan apakah ini kasus bunuh diri atau pembunuhan, namun bila dilihat dari TKP ini jelas pembunuhan karena luka-lukanya cukup parah dan sadis. Bisa diduga pembunuhnya adalah orang yang sama dengan kasus beberapa tahun lalu namun masih aman berkeliaran, berarti kasus beberapa tahun lalu itu pelakunya bukanlah Tasmijan. Tetapi dulu di semua korban ada sidik jari Tasmijan, kali ini sidik jari salah satu pegawai juga ada di tubuh korban satunya, kalau pelakunya berbeda mengapa ciri-ciri kasusnya sama, motif apa yang mendasari kasus-kasus ini?

***

Berita kematian pegawai bank dan rekannya di sebuah rumah megah milik konglomerat bernama Baskoro itu santer diberitakan di semua media. Koran, televisi, situs jejaring sosial, dan situs berita online dipenuhi berita pembunuhan misterius itu. Berita itu jelas meresahkan warga karena pernyataan polisi bahwa pembunuhnya mungkin masih berkeliaran. Warga mulai cemas dan khawatir terutama sekitar rumah megah yang kosong itu. Setiap lepas Maghrib semua pintu ditutup dan jalan besar di depan rumah mewah itu lengang tak seperti biasanya. Sebagian warga ada yang percaya rumah itu angker karena selain yang mempunyai meninggal, juga menjadi tempat pembunuhan. Apalagi warga yang sejak awal pernah menganggap rumah itu hasil pesugihan, mereka lebih yakin dan semakin takut bahwa rumah itu tengah didiami sosok-sosok supranatural jahat.

Sementara para warga resah akan kasus pembunuhan misterius, ada satu hal yang seharusnya lebih mengulik benak kita. Kemanakah Puspa Dumilah setelah masuk ke tubuh pegawai bank itu? Apakah sama seperti dulu, ia kembali ke warangkanya di ruang pusaka? Bukankah saat itu karena masih ada Baskoro pengikat Puspa Dumilah? Apakah pulang ke tempat pertama ia dipanggil? Ke Trajumas? Gua Tandurasa? Ternyata tidak. Kepulangan Puspa Dumilah ke warangka itu karena dulu masih diikat oleh ritual Ki Kusno yang dilanjutkan Baskoro, namun karena kini ia lepas dari ikatan itu maka entah kemana ia pergi sebab warangkanya kosong dibawa polisi. Mungkin ia akan terus mencari tumbal sampai rasa haus darahnya terhapuskan. Mungkin ia sudah puas menghabisi beberapa nyawa. Semoga, .....

***

Kasus pembunuhan masih larut dan kalut tak berujung, mungkin pihak kepolisian takkan mudah menemukan pelakunya dengan modal warangka kosong itu. Polisi mencurigai orang pembawa senjata tajam itu padahal yang mereka cari bukan orang tetapi sebilah keris penghuni warangka itu. Polisi mulai melakukan gerakan simultan. Bukti-bukti dan keterangan dikumpulkan dari orang-orang yang pernah bersinggungan dengan Baskoro, si pemilik awal rumah itu. Tidak satupun orang-orang yang dimintai keterangan memberi informasi terkait keris atau warangka kosong itu. Mantan karyawan dan manajer Baskoro menganggap itu hanya hobi bos mereka memang koleksi pusaka. Titik terang muncul dari pembantu Baskoro yang masih trauma. 

Lihat selengkapnya