Kersen Merah Jambu

Fasihi Ad Zemrat
Chapter #2

MEMALUKAN

“Apa-apaan nilai buruk kayak gini? Memalukan! Lihat tuh Alya temen anak Ayah yang sekelas sama kamu! Dia dapat nilai 90. Ini?” Abimanyu mengangkat lembar kertas nilai ujian Adrian. Sebuah angka empat dengan tinta merah menyala di pojok kertas itu. “Menjijikan!” hardik Abimanyu sekali lagi. Dia pun meletakkan kertas ujian Adrian dengan kasar ke atas meja. Ayah Adrian itu lantas meninggalkan anaknya yang masih terpaku di teras rumah.

Setelah ayahnya tak terlihat, Adrian baru berani membuka sepatunya dan meletakkannya di rak. Mulutnya masih terkunci dan gerakan tubuhnya patah-patah. Setelah mendapatkan bentakan tadi, tubuh Adrian serasa diikat oleh sesuatu. Remaja yang baru berusia lima belas tahun itu hanya bisa menelan bulat-bulat perasaannya.

“Makan dulu, Yan!” ajak ibunya lembut.

Adrian menggeleng lemah. Dalam hati terdalamnya dia kecewa dengan ibunya. Ketika sang ayah memarahinya habis-habisan, Sinta hanya bersembunyi di dapur. Baru setelah Abimanyu berlalu dan membanting pintunya, Sinta akan menyambut Adrian. Namun sekecewa apa pun Adrian, remaja dengan perawakan jangkung dan sedikit buncit itu hanya bisa diam. Lagi-lagi, dia hanya akan mengacuhkan ibunya lantas masuk ke kamar.

Tak ada apa pun di kamar remaja yang baru beberapa bulan duduk di bangku madrasah aliyah itu. Tak ada foto, tak ada gitar, tak ada barang apa pun yang mungkin disukai remaja seusia Adrian. Semuanya hanya berisi buku dan tabel periodik unsur yang diprint besar-besar.

Adrian melempar tasnya ke kasur. Air mata mulai berjatuhan dari matanya. Dengan amat keras, dia gigit bibirnya agar tak menimbulkan suara. Adrian pun mendekati meja belajarnya. Dia raih botol-botol obat yang katanya bisa membuatnya pintar.

“Kenapa semua ini nggak ada gunanya? Kenapa aku masih bodoh!” raungnya. Dia lantas melempar botol itu dan pil-pil yang ada di sana pun berhamburan.

Adrian lantas duduk dan membaca buku lagi. Tetes demi tetes air matanya jatuh mengenai buku fisika yang sedang dibacanya. Sayangnya semakin dia baca, semakin dia tak mengerti dengan apa yang diterangkan di dalam buku itu. Dia tak bisa membedakan antara rumus kecepatan dan percepatan. Adrian pun meremas kepalanya. Dia pukul-pukul kepalanya itu agar bisa bekerja lagi seperti remot yang eror. Adrian mengira semakin keras pukulannya, maka otaknya akan semakin eror, tapi tetap saja, otaknya tak lagi sepintar ketika dia SD dulu.

Lelah dengan apa yang dia lakukan, Adrian pun menjatuhkan kepalanya di atas buku. Dia lantas memandang ke luar, ke halaman luas di samping kamarnya. Dulu di sana, dia pasti akan bermain layang-layang atau sekadar bermalas-malasan di sana. Ayahnya tak akan sekali pun memedulikan apa yang Adrian lakukan. Bahkan ketika rapor telah diberikan, Abimanyu akan mengajak anaknya itu jalan-jalan. Tapi itu hanya terjadi dulu, ketika Adrian masih menjadi ranking 3 besar di SD sampai kelas 2 SMP. Dan semua itu hancur ketika Adrian tak meraih peringkat apa pun di acara kelulusan SMP.

Remaja dengan rambut ikal itu masih sangat ingat saat-saat itu. Ketika Adrian mengerjakan matematika, Adrian rasa ada yang tidak beres dengannya. Semua rumus, semua cara, dan semua materi yang dia pahami mendadak menghilang dari otaknya. Padahal dia sudah mati-matian belajar tapi disaat dia membutuhkan materi-materi di kepalanya itu, semuanya mendadak sirna.

Lihat selengkapnya