“Apa-apaan nilai buruk kayak gini? Memalukan! Lihat tuh Alya temen anak Ayah yang sekelas sama kamu! Dia dapat nilai 90. Ini?” Abimanyu mengangkat lembar kertas nilai ujian Adrian. Sebuah angka empat dengan tinta merah menyala di pojok kertas itu. “Menjijikan!” hardik Abimanyu sekali lagi. Dia pun meletakkan kertas ujian Adrian dengan kasar ke atas meja. Ayah Adrian itu lalu meninggalkan anaknya yang masih terpaku di pintu masuk.
Setelah ayahnya tak terlihat, Adrian baru berani membuka sepatunya dan meletakkannya di rak. Mulutnya masih terkunci dan gerakan tubuhnya patah-patah. Setelah mendapatkan bentakan tadi, tubuh Adrian serasa diikat oleh sesuatu. Remaja yang baru berusia lima belas tahun itu hanya bisa menelan bulat-bulat perasaannya.
“Makan dulu, Yan!” ajak ibunya lembut.
Adrian menggeleng lemah. Dalam hati terdalamnya dia kecewa dengan ibunya. Ketika sang ayah memarahinya habis-habisan, Sinta hanya bersembunyi di dapur. Baru setelah Abimanyu berlalu dan membanting pintu, Sinta baru memunculkan batang hidungnya. Namun sekecewa apa pun Adrian, remaja dengan perawakan jangkung dan sedikit buncit itu hanya bisa diam. Lagi-lagi, dia hanya akan mengacuhkan ibunya dan masuk ke kamar.
Tak ada apa pun di kamar remaja yang baru beberapa bulan duduk di bangku madrasah aliyah itu. Tak ada foto, tak ada gitar, tak ada barang apa pun yang mungkin disukai remaja seusia Adrian. Semuanya hanya berisi buku dan tabel periodik unsur yang diprint besar-besar.
Adrian melempar tasnya ke kasur. Air mata mulai berjatuhan dari matanya. Dengan amat keras, dia gigit bibirnya agar tak menimbulkan suara. Adrian pun mendekati meja belajarnya. Dia raih botol-botol obat yang katanya bisa membuatnya pintar.
“Dasar obat palsu! Kenapa aku tetep bodoh!” raungnya. Dia lantas melempar botol itu dan pil-pil yang ada di sana pun berhamburan.
Adrian lantas duduk dan membuka buku. Sayangnya semakin dia baca, semakin dia tak mengerti. Dia tak bisa membedakan antara rumus kecepatan dan percepatan. Dia juga tak mengerti apa bedanya hukum Archimedes dengan hukum Pascal. Semuanya hanya berkelebat di pikiran remaja itu. Tak ada satu pun yang masuk dan bersinggasana di otaknya. Seakan-akan otak Adrian adalah tempat kotor yang tak pantas dihinggapi ilmu apa pun.
Adrian pun meremas kepalanya. Layaknya remot yang eror, Adrian memukul-mukul kepalanya itu agar bisa bekerja. Adrian mengira semakin keras pukulannya, maka otaknya akan semakin encer, tapi hal itu percuma. Adrian merasa tak sepintar ketika dia masih bocah.
Lelah dengan apa yang dia lakukan, Adrian pun menjatuhkan kepalanya di atas buku. Dia lalu memandang ke luar, ke halaman luas di samping kamarnya. Dulu di sana, dia sering bermain layang-layang atau sekadar bermalas-malasan. Ayahnya tak akan memedulikan apa yang Adrian lakukan. Dulu ketika rapor diberikan, Adrian juga akan diajak Abimanyu jalan-jalan. Tapi itu dulu, ketika Adrian masih bisa meraih peringkat 3 besar. Dan semua itu hancur ketika Adrian tak meraih apa pun saat wisuda SMP.
Remaja dengan rambut ikal itu masih ingat saat-saat dirinya mengerjakan soal UN. Ketika soal matematika hadir di hadapannya, tiba-tiba semua rumus, cara, dan materi yang Adrian hafal, mendadak hilang. Layaknya gerombolan semut yang ditiup, semua hal yang Adrian pelajari pergi begitu saja. Tak ada yang bersisa meski hanya cara mengalikan bilangan berpangkat. Padahal Adrian sudah mati-matian belajar tapi disaat dia membutuhkan materi-materi di kepalanya, semuanya mendadak sirna.