“Eh, eh, eh! Ian!”
Langkah gontai Adrian terhenti. Dia mendengar panggilan itu. Segera saja dia menyapu pandang, mencari sumber suara.
“Ian!” teriak seseorang lagi.
Teriakan itu membuat Adrian makin menengok ke sana-ke mari. Sejauh matanya memandang, dia tak menemukan siapa pun. Semua orang telah pulang. Di parkiran pun hanya tersisa dua sepeda. Satu sepedanya, dan satu lagi Sepeda Mini warna merah jambu yang entah milik siapa.
Suasana sekolah benar-benar sepi. Hanya menyisakan desiran angin yang menerbangkan debu di area parkiran, sebuah area yang berada di ujung belakang sekolah.
“Ian, di atas sini!”
Kali ini Adrian dapat melihat sesosok makhluk putih di depan Laboratorium Kimia. Kendati sekolah ini terkenal dengan cerita mistisnya, Adrian sama sekali tak merasa takut. Satu-satunya yang dia takuti hanyalah kemarahan ayahnya nanti di saat dia pulang karena terlambat. Bahkan sepertinya Ian akan lebih dimarahi karena tadi dia berangkat tanpa pamit dengan ayahnya. Ayahnya masih di kamar mandi dan Ian langsung berangkat sekolah.
“Ian! Ih, bantuin!” rengek suara itu lagi.
Adrian terkesiap kala melihat sosok yang dibangga-banggakan ayahnya ada di atas pohon itu. Dia Alya, gadis imut dengan perawakan mungil dan mempunyai gigi gingsul di samping gigi taringnya.
“Jangan liatin doang, Ian! Bantuin!” teriak Alya.
Adrian masih sedikit bimbang. Masih lekat di pikirannya tentang kejadian waktu SMP. Dia pernah menolong temannya yang jatuh. Tapi bukannya berterima kasih, temannya itu justru menarik tangan Adrian hingga dia tersungkur dan seragamnya mengenai kotoran ayam. Waktu itu semua orang tertawa dan Adrian melarikan diri.
Adrian harap ketika dia lulus dari SMP dan masuk ke madrasah aliyah, dia akan ditempatkan di siswa dengan kepintaran rata-rata saja. Belum juga mengemukakan pendapatnya, ayahnya memaksanya untuk memilih jurusan matematika dan IPA. Dan berdasarkan hasil tes, Adrian terpilih menjadi salah satu siswa di X-MIA 1.
Saat namanya disebut, Adrian langsung keringat dingin. Masih erat di ingatannya tentang perundungan yang dia terima di SMP. Remaja itu juga masih ingat awal mula kejadiannya. Dulu dia masuk ke kelas unggulan. Waktu itu Adrian mencoba untuk ramah kepada semua orang. Bukannya disambut, dia justru menjadi sasaran perundungan. Maka saat ini, saat dia masuk ke madrasah aliyah, dia tak mau banyak bicara. Dia memilih diam. Diam yang berarti selamat.
“Ian! Ish Ian, bantuin! Aku nggak bisa turun!” teriak Alya.
Kendati trauma masih membayanginya, Adrian tak tega melihat Alya yang benar-benar tersangkut di pohon. Lelaki itu pun mengepalkan tangan. Seperti halnya emas yang melebur ke kuningan, emas tetaplah emas. Inti jiwa Adrian yang suka menolong, tak dapat dia indahkan. Maka dengan pikiran yang campur aduk, Adrian mencoba menegakkan kepalanya, menatap Alya.
“Ka ….” Adrian mencoba berbicara pada teman sekelasnya. Setelah tiga bulan berlalu, akhirnya Adrian mau membuka mulutnya.
“Kamu ngapain?” tanya Adrian.
“Bisa tanyanya nanti aja nggak? Ini lho aku nggak bisa turun,” rajuk Alya.
“Naik, nggak bisa turun?” Adrian memiringkan kepalanya, tak mengerti dengan perkataan Alya.
“Iih Adrian! Udah cepet bantuin turun! Atau nggak, aku lompat ke kamu, nih!”
Sahutan demi sahutan Alya, perlahan membuka paksa hati Adrian yang terkubur. Tanpa Adrian sadari, bibirnya terangkat meski dengan sudut yang sangat kecil.
“Eh, nggak, jangan! Bentar!” Adrian buru-buru berpikir. Segera saja dia mengambil meja yang ada di teras laboratorium kimia sekaligus kursinya. Dia menyusun meja lalu meletakkan kursi di atasnya. Susunan meja-kursi itu, tepat di bawah pohon kersen yang Alya naiki.
Nasib untung mejanya lebar, jadi Adrian bisa sekalian naik ke sana. Akan jauh lebih mudah bagi Adrian untuk membantu Alya.
“Sini turun!”
Alya menatap ngeri meja yang Adrian tata. Meja itu tampak tak seimbang. Sisi-sisinya terlihat miring. Bukannya Alya melepaskan pegangannya pada pohon. Dia justru makin memeluknya erat persis seperti kucing.
“Nggak mau! Takut!” katanya sambil menggeleng.
“Udah, ini aman, kok. Nggak bakalan jatuh!” ujar Adrian, berusaha meyakinkan Alya.
Alya tetap menggeleng. Dia takut meraih kursi yang jaraknya hanya tiga puluh centi dari kakinya.
Adrian geram. Dia pun menginjak-nginjak meja dan menaiki kursi yang sudah dia letakkan di atas meja. Berulang-ulang kali. “Tuh, kan! Kuat ini!”
Tindakan Adrian membuat Alya menatap ke arah teman sekelasnya itu. Dia menjulurkan kakinya, tapi baru lima centi dari pijakan Alya di pohon, Alya kembali mengurungkan niatnya.
“Jadi lebih takut ke sini atau aku tinggalin, nih?” decak Adrian gemas.
“Adrian kok tega, sih!” rajuk Alya.