Hari ini, hari senin. Sudah upacara, pakai acara mendung, tapi tak hujan. Ditambah kena ban bocor di jalan dan berakhir telat. Kena hukuman berdiri di depan barisan karena atribut tidak lengkap, plus harus menulis sholawat munjiyat 10 kali lagi. Tapi semua itu makin menyebalkan karena 1 hal. Dan mungkin juga satu hal itu yang menyebabkan kesialan menimpa Wisnu di hari pertama minggu ini. Satu hal itu ialah karena kemarin hari Sabtu, Adrian tiba-tiba menghilang.
Kedongkolan Wisnu itu bermula ketika dia ingin menarik uang untuk membeli perlengkapan kelompok. Inginnya dia ditemani Adrian, tapi anak itu justru langsung pergi ketika istirahat pertama. Istirahat kedua pun begitu. Wisnu akhirnya membiarkan Adrian. Dia berusaha memakluminya karena kemarin, dia hanya mengajak Adrian untuk belanja sepulang sekolah.
Namun amarah Wisnu pun meledak ketika jam pulang sekolah, Adrian tak menepati perkataannya. Anak itu menyelinap, melihat ke Wisnu seperti ingin kabur. Dan ketika Wisnu hendak memanggil namanya, Adrian benar-benar lari.
Sore itu, Wisnu benar-benar kesal. Dia belanja sendiri yang sebagian besarnya memakai uangnya sendiri. Semua itu karena belum semua anggota timnya iuran, termasuk Adrian.
“Kenapa kemarin pulang duluan!” protes Wisnu sambil mendebrak meja Adrian.
Akhirnya dia melabrak Adrian. Andai tadi tidak upacara dan dia tidak telat, Wisnu pasti sudah melakukannya dari tadi.
Adrian menghentikan kegiatannya. Pulpennya menggiling dari buku. Anak itu kaget sewaktu Wisnu mendebrak mejanya. PR yang seharusnya dikerjakan besok, tak jadi Adrian kerjakan sekarang.
“Kalau nggak bisa, jangan sok bilang iya!” amuk Wisnu.
“Ma-af!” sahut Adrian dengan wajah menunduk.
Ternyata penilaiannya salah. Dia pikir pilihannya untuk pulang tepat seperti yang ayah bilang, dapat menyelamatkannya. Adrian sangka Wisnu akan membiarkannya begitu saja lalu mencari anggota tim lain untuk menemaninya. Tapi ternyata semua tebakannya salah.
“Dasar aneh!” pungkas Wisnu lantas duduk kembali ke bangkunya. Teman sekelas yang lain menatap pertengkaran itu. Mata mereka bergantian menatap Wisnu dan Adrian. Namun tatapan mereka hanyalah sejenak, sebelum semua orang kembali ke rutinitasnya, berbicara selain dengan Adrian.
Sementara Adrian kembali tepekur, dia ambil kembali pulpennya yang terjatuh lalu kembali mengerjakan PR. PR selesai dia mengerjakan soal yang lain. Seperti itu terus bahkan sampai di tahap dia tidak bisa mengerjakan soal dan dia akan kembali membaca materi. Adrian pantang bertanya kepada temannya, selain dia takut, dia juga tak mau ada yang menyalipnya kembali. Remaja laki-laki itu tak mau dia menjadi tertinggal seperti ketika SMP dan akhirnya dibentak ayahnya habis-habisan lagi.
Sayangnya bukannya makin paham atau menjadi paling pintar, Adrian jauh lebih tertinggal. Apa yang dirasanya benar ternyata salah. Hitungannya memang menemukan jawaban, tapi jawaban itu sangat berbeda jauh dengan apa yang diinginkan guru. Lagi dan lagi, dia hanya menjawab soal yang tak ada gunanya.
***
Bel pulang. Sehari lagi dilewati Adrian tanpa senyum. Satu hari lagi dilaluinya tanpa gairah sama sekali. Meski hari biasanya, Adrian tak begitu semangat, tapi hari ini dia merasa begitu lemas. Sejak pertengkaran tadi, Adrian rasa kehidupan SMP-nya akan kembali lagi. Dia akan menjadi sasaran bully dan nilainya tak akan pernah naik. Hari ini Adrian sadar kalau menuruti perintah ayahnya tak selamanya benar.
Adrian menghela napas. Dipandangnya langit biru yang dilapisi lembayung senja. Mungkin tidak ada salahnya jika dia pulang lebih larut. Lagipula ketika di rumah, Adrian tidak berbuat apa-apa. Tak ada TV dan gawai. Sepulang sekolah, Adrian harus menyerahkan ponsel ke ayahnya. Jika ada tugas atau apa pun itu, Adrian harus mengerjakannya langsung. Jika tidak ada, maka dia harus mengerjakan soal.
Adrian lelah. Hati kecilnya berkata ia ingin berubah. Dia ingin kembali mencicipi masa-masa indah dan bebas seperti waktu SD dulu. Namun apakah Adrian mampu untuk melawan ayahnya? Apakah dia berani?
Embusan angin parkiran sepeda, menerpa wajah Adrian. Angin itu seperti ingin memberikan jeda agar remaja itu berhenti berpikir. Seperti seorang anak kecil yang mengajak temannya main, angin itu menggerak-gerakkan ranting kersen. Ia menggoda Adrian untuk bisa bermain, sebentar saja.
Untungnya Adrian bukan Adam. Dia tak perlu diturunkan lagi ke dasar bumi karena tergoda untuk mendekati pohon kersen. Adrian bahkan mencopot sepatu dan menanggalkan tasnya. Satu hal yang belum pernah dia lakukan sewaktu akan pulang.